AL QATHANI ADALAH YAMAN

THAIFA MANSYURA, AL-QATHANI ( AL-MAIDAH:54 ) : MUNCUL DARI YAMAN...( DALAM NUBUWAH SYIAH ADA ULASAN PULA TENTANG AL-YAMANI-SUFYANI )
MUAWIYYAH PUN SEMPAT GELISAH KHAWATIR QURAISY/ARAB AKAN TERGANTIKAN"

Sangat banyak sekali nubuwah yang memberitakan akan keutamaan Negeri Yaman, termasuk do'a dari shahabat mulia Abu Bakar as Shiddiq untuk Yaman ini.."kalau di telisik baik di Yaman, ataupun Syam" hampir semua konflik adalah "AMBISI LAWAN NUBUWAH"..Dan satu hal "MEREKA SEDANG BERPERANG MELAWAN DZURIYAH/CUCU CUCU RASULILLAH SHOLALLAHU ALAIHI WASALLAM.."
KETIKA AYAT INI TURUN ( AL-MAIDAH:54) : "Rasulullah memberitakannya sambil menepuk pundak sahabat "ABU MUSA-AL-ASY'ARI", seraya bersabda: “Mereka (kaum tersebut) "ADALAH KAUM ORANG INI..!!”. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah, karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, sebagaimana telah di tulis secara lengkap dalam penulisan biografi al-Imâm Abu al-Hasan sendiri.

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai Allah....” (QS. Al-Ma’idah: 54), al-Imâm Mujahid berkata: “Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”. Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: “Dan orang-orang Asy’ariyyah adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”
Di akhir zaman akan muncul seorang laki laki dari Qahthan. Orang orang taat kepadanya, dan berkumpul padanya. Hal itu terjadi ketika zaman telah berubah, karena itulah Imam al Bukhari menyebutkannya dalam bab taghayyuriz zamaan (perubahan zaman).

Al Qahtani di sini adalah keturunan dari orang merdeka, karena penisbatannya kepada Qahthan yang merupakan puncak nasab penduduk Yaman dari kalangan Himyar, Kindah, Hamadan dan yang lainnya [8].
Imam Ahmad dan asy Syaikhani (al Bukhari dan Muslim) meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak akan tiba hari Kiamat hingga keluar seorang laki laki dari Qahthan yang menggiring manusia dengan tongkatnya.” [1]
Al Qurthubi rahimahullah berkata, “Sabda beliau: ‘… menggiring manusia dengan tongkatnya,’ adalah kinayah (kiasan) dari ketaatan manusia kepadanya dan kesepakatan mereka untuk mentaatinya, bukanlah yang dimaksud (di dalam hadits) adalah tongkat secara hakiki, itu hanya sebagai perumpamaan dari ketaatan mereka kepadanya dan kekuasaannya kepada mereka. Hanya saja, penyebutan kata tersebut terdapat dalil bahwa ia orang yang keras kepada mereka.” [2]
Kami katakan: Benar, penggiringan yang dilakukannya terhadap manusia merupakan kiasan ketaatan dan kepatuhan mereka kepadanya.
Hanya saja, yang diisyaratkan oleh al Qurthubi berupa sikapnya yang keras kepada mereka bukanlah sikap yang ditujukan kepada semuanya, sebagaimana nampak dari perkataannya. Ia hanyalah keras kepada orang orang yang melakukan kemaksiatan. Dia adalah orang shalih yang menghukumi dengan adil.

Pendapat ini diperkuat dengan riwayat yang dinukil oleh Ibnu Hajar dari Nu’aim bin Hammad [3], beliau meriwayatkan dari jalan yang kuat dari Abdullah bin Amr, bahwa beliau menyebutkan para khalifah, kemudian dia berkata, “Dan seorang laki laki dari Qahthan.”
Demikian pula yang diriwayatkan dengan sanad yang jayyid dari Ibnu ‘Abbas, sesungguhnya beliau berkata tentangnya:

“Dan seseorang dari Qahthan, semuanya ( orang Qahthan ) adalah orang shalih.” [4]
Ketika Abdullah bin Amr bin al Ash Radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa akan ada seorang raja (penguasa) dari Qahthan, marahlah Mu’awiyah Radhiyallahu anhu, lalu dia berdiri dan memuji Allah dengan sesuatu yang sesuai dengan-Nya, kemudian beliau berkata, “Amma ba’du, telah sampai kepadaku bahwa beberapa orang dari kalian membawakan beberapa riwayat yang tidak ada di dalam Kitabullah, tidak pula diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka adalah orang orang bodoh di antara kalian, maka hati hatilah kalian dari angan angan yang dapat menyesatkan pelakunya, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya urusan (kekhilafahan) ini akan tetap ada pada keturunan Quraisy, tidak ada seorang pun yang mencabutnya "KECUALI ALLAH" akan menelungkupkan mukanya; selama mereka (keturunan Quraisy) menegakkan agama.” [ HR. Al Bukhari ][5]
Mu’awiyah hanya mengingkarinya karena takut bila seseorang menyangka bahwa kekhalifahan bisa dipegang oleh selain Quraisy, sementara Mu’awiyah sendiri tidak mengingkari akan adanya seorang tokoh dari Qahthan. Karena di dalam hadits Mu’awiyah terdapat ungkapan “Selama mereka menegakkan agama”, artinya jika mereka (Quraisy) tidak menegakkan agama, maka urusan (kekhilafahan) tersebut keluar dari tangan mereka, dan ini pernah terjadi. Manusia akan tetap mentaati seorang Quraisy hingga mereka lemah dalam memegang teguh agama, sehingga mereka pun lemah, dan pada akhirnya kepemimpinan berpindah kepada yang lainnya. [6]
Al Qahthani ini bukanlah Jahjah [7] , karena al Qahtani di sini adalah keturunan dari orang merdeka, karena penisbatannya kepada Qahthan yang merupakan puncak nasab penduduk Yaman dari kalangan Himyar, Kindah, Hamadan dan yang lainnya [8].

Adapun Jahjah termasuk dari keturunan budak belian.
Pendapat ini diperkuat riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Tidak akan lenyap siang dan malam sehingga seseorang dari (kalangan) hamba sahaya yang bernama Jahjah menjadi raja.’”[9]

Catatan Kaki
[1]. Musnad Ahmad (XVIII/103) (no. 9395), Syarh Ahmad Syakir, disempurnakan oleh Dr. Al-Husaini ‘Abdul Majid Hasyim, Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Taghayyuriz Zamaan hatta Tu’badul Autsaan (XIII/76, al-Fat-h), Shahiih Muslim, kitab al-Fitan wa Asyraathus Saa’ah (XVIII/36, Syarh an-Nawawi).
[2]. At-Tadzkirah (hal. 635).
[3]. Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i. Termasuk tokoh pembesar para Hafizh (ahlul hadits), al-Bukhari meriwayatkan darinya sebagai penyerta, Muslim meriwayatkan darinya dalam Muqaddimah, demikian pula Ash-habus Sunan kecuali an-Nasa-i. Imam Ahmad mentsiqahkannya, begitu juga Yahya bin Ma’in, dan al-‘Ajali. Abu Hatim berkata, “Dia perawi shaduq.” An-Nasa-i melemahkannya, adz-Dzahabi berkata, “Salah seorang Imam akan tetapi layyin di dalam hadits,” Ibnu Hajar berkata, “Shaduq dan sering salah,” adz-Dzahabi menukil dari Nu’aim bahwa beliau berkata, “Se-belumnya aku adalah seorang Jahmiyyah, karena itulah aku mengenal perkataan mereka, ketika aku meminta hadits, aku tahu sesungguhnya akhir dari pendapat mereka adalah Ta’thil (meniadakan seluruh sifat Allah).” Wafat pada tahun 228 H rahimahullah.
Lihat Tadzkiratul Huffaazh (II/418-420), Miizaanul I’tidaal (IV/267-270), Tahdziibut Tahdziib (X/458-463), Taqriibut Tahdziib (II/305), Hadyus Saari Muqaddimah Fat-hul Baari (hal. 447), dan Khulashah Tadzhiibut Tahdziibil Kamaal (hal. 403).
[4]. Fat-hul Baari (VI/535).
[5]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Manaaqib bab Manaaqibu Quraisy (VI/532-533).
[6]. Lihat Fat-hul Baari (XIII/115)
[7]. Berbeda dengan pendapat al-Qurthubi, beliau berkata di dalam kitab at-Tadz-kirah (hal. 636), “Barangkali seorang laki-laki dari Qahthan itu adalah seorang laki-laki yang bernama Jahjaah.”
[8]. Lihat Fat-hul Baari (VI/545, XIII/78).
[9]. Musnad Ahmad (XVI/156) (no. 8346), syarah dan ta’liq Ahmad Syakir, beliau berkata, “Sanadnya shahih, hadits ini terdapat dalam Shahiih Muslim (XVIII/ 36) tanpa lafazh (Ù…ِÙ†َ الْÙ…َÙˆَالِÙŠ).



Wallahu a’lam bishowab

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.