Perampokan a la NATO

Perampokan a la NATO .

By: Dina Sulaeman (Dosen dan Pengamat HI geopolitik timteng UNPAD)

Qaddafi memang sasaran empuk. Sikapnya yang eksentrik serta track record kekerasan yang dilakukannya terhadap para oposannya membuat NATO dengan mudah meraih dukungan dunia saat melancarkan operasi menjarah Libya. Langkah awal NATO adalah dengan membekukan aset-aset Libya. Alasan yang mereka berikan tentu saja: itu uang Qaddafi, hasil korupsi atas kekayaan rakyatnya. Karena itulah, tak banyak yang memrotes. Seolah-olah negara-negara Barat memang berhak membekukan uang orang-orang yang dituduh korupsi. Total aset Libya yang dibekukan Barat berjumlah $150 milyar dollar, $100 milyar dollar di antaranya berada dalam genggaman negara-negara yang bergabung dalam agresi NATO ke Libya.

Pertanyaannya, kemana uang itu sekarang? Siapa yang memanfaatkannya? Sebelum sampai ke jawaban, ada fakta menarik yang tak banyak diketahui publik: Libya ternyata tidak punya hutang luar negeri. Libya adalah negara kaya, dengan cadangan minyak terkaya di Afrika.

Lalu, NATO dengan alasan ‘humanitarian intervention’ membombardir puluhan ribu target sipil: fasilitas kesehatan, sekolah, sistem distribusi air, rumah, masjid, jalanan, atau perkantoran. Bahkan rumah Qaddafi pun tak luput dari bombardir, sehingga menewaskan tiga cucu Qaddafi, dan anak-menantu Qaddafi. Kini, Libya telah porakporanda. Seharusnya, ‘uang Qaddafi’ yang dibekukan itu dikembalikan kepada rakyat Libya, minimalnya kepada NTC, yang dengan sekejap meraih pengakuan dari negara-negara NATO sebagai ‘pemerintahan transisi yang sah di Libya’. Tapi bagaimana kenyataannya?

Negara-negara NATO kini beramai-ramai menawarkan bantuan untuk merekonstruksi Libya yang sudah hancur itu. Dalam perundingan di Paris, para pemimpin negara-negara NATO setuju untuk mencairkan milyaran dollar uang yang dibekukan itu untuk membantu pemerintahan transisi Libya membangun kembali fasilitas pelayanan publik. Hanya, parahnya, dana itu akan diberikan dalam bentuk hutang!


 Sejauh penelusuran ane semenjak Libya adalah negara berdikari dan negara ke -10 terbesar Dunia penghasil minyak, dengan GDPnya diatas rata" dunia, kedua, walaupun Rusia tergabung dalam G8, tapi kebijakan politik luar negerinya tidak serta mengintervensi negara lain, kendati dulu abstain dalam resolusi PBB terkait Libya, dan faktanya, anggota" NATO sendiri notabene anggota G8, jauh terlibat dlm konteks konflik Libya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.