ULAMA JAWA BARAT DAHULU
Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.
Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.
Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.
Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.
Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.
Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.
Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3)
Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).
Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.
Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.*** (Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.)
Syekh Datuk Kahfi r.a
Syekh Datuk Kahfi(dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atauSyekh Nurul Jati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon. Beliau juga merupakan leluhur dari raja-raja Sumedang era Islam.
Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat.
Menurut legenda, di pantai utara Jawa Barat terdapat dua buah pesantren yang terkenal dan dipimpin oleh orang-orang keturunan Arab. Yang satu berada di Karawang, dipimpin oleh Syekh Quro dan yang satu lagi di Amparan Jati dipimpin oleh Syekh Nurjati atau Syekh Nurul Jati.
Sedangkan Syekh Dzatul Kahfi atau lebih mudah disebut Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Datuk Khafid yang bernama asli Idhafi Mahdi, adalah seorang muballigh asal Baghdad . Beliau tiba di Pelabuhan Muara Jati bersama rombongan sebanyak 22 orang, dua diantaranya adalah wanita, dan diterima dengan baik oleh Ki Jumajan Jati, sang syahbandar Pelabuhan Muara Jati, yang kemudian memperbolehkannya untuk menetap di sana.
Syekh Datuk Kahfi bersama rombongannya kemudian menjadi murid dari Syekh Nurjati. Bahkan kemudian, ketika memasuki usia yang telah lanjut, Syekh Nurjati lalu menunjuk Syekh Datuk Kahfi sebagai penggantinya untuk memimpin di pesantren Amparan Jati.
Tatkala Syekh Datuk Kahfi memimpin pesantren, majelis pengajiannya di Gunung Amparan Jati menjadi makin terkenal. Banyak sekali santri-santri yang ikut belajar agama Islam, diantaranya ialah putra-putri Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang. Mereka adalah Raden Walangsungsang dengan istrinya Indang Geulis, dan adiknya Nyai Rarasantang.
Mereka inilah yang kemudian berperan dalam Pembangunan Cirebon dan juga syiar Islam di wilayah Jawa Barat. Bahkan kemudian Raden Walangsungsang menjadi pendiri sekaligus Pemimpin di Cirebon.
Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para santrinya kala itu dalam membangun kejayaan Cirebon tampak sangat menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang pesat hingga mengalahkan agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan gerakan anarkis atau dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk Kahpi mensyiarkan Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil ‘alamin.
Rupanya Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahannya berbunyi, “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmadal-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid terbunuh dalam pembantaian di Padang Karbala, Iraq.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, berputera
Imam Husain a.s, berputera
Imam Ali Zainal Abidin, berputera
Muhammad al-Baqir, berputera
Imam Ja’far ash-Shadiq, berputera
Ali al-Uraidhi, berputera
Muhammad al-Naqib, berputera
Isa al-Rumi, berputera
Ahmad al-Muhajir, berputera
Ubaidillah, berputera
Alawi, berputera
Muhammad, berputera
Alawi, berputera
Ali Khali’ Qosam, berputera
Muhammad Sahib Mirbath, berputera
Sayid Alwi, berputera
Sayid Abdul Malik, berputera
Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Sayid Abdul Kadir, berputera
Maulana Isa, berputera
Syekh Datuk Ahmad, berputera
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.
Syekh Pangeran Cakrabuana Cirebon
Masyarakat Cirebon mungkin sudah tidak asing lagi dengan Pangeran Cakrabuana, menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Pajajaran dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelarCakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.
Sampai saat ini Pangeran Cakrabuana dikenal sebagai salah satu Tokoh pendiri Cirebon, kepiawaian beliau memerintah di Cirebon sangat dikenal, dilihat dari beberapa peninggalan sejarah terjadi perpaduan seni dan budaya termasuk bahasa di Cirebon. Keanekaragaman suku bangsa dan agama tidak menjadi penghalang berjalannya pemerintahan saat itu, toleransi beragama sangat dijunjung tinggi sehingga siapapun yang tinggal di Cirebon saat itu bisa beraktivitas secara leluasa dan sepeninggal beliau sampai saat sekarang masih terjadi akulturasi budaya dan tentunya bukan sebagai budaya masing-masing suku bangsa tetapi sebagai budaya Cirebon termasuk bahasa yaitu bahasa Cirebon sebagai salah satu kekayaan bangsa.
Sudah sepatutnyalah kita sebagai generasi sekarang mampu menghargai dan menjunjung tinggi apa yang telah dilakukan oleh pendahulu kita, mari kita bangun Cirebon dan tentunya Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga diperhitungkan kembali di mata Internasional secara politik, perdagangan, budaya dan tentunya toleransi yang telah ditunjukan oleh para pendahulu kita
Syekh Syarif Hidayattullah Sunan Gunung Jati
Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.
Syech Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Pangli
Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat Proses Pemberdyaan.
Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.
Syech Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi.
Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech Maulana Jati.
Syech Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.ma Perang bernama Fatahillah merebut Sunda
Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.
Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.
Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.
Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.
Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.
Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.
Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.
Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.
Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3)
Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).
Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.
Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.*** (Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.)
Syekh Datuk Kahfi r.a
Syekh Datuk Kahfi(dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atauSyekh Nurul Jati) adalah tokoh penyebar Islam di wilayah yang sekarang dikenal dengan Cirebon. Beliau juga merupakan leluhur dari raja-raja Sumedang era Islam.
Beliau pertama kali menyebarkan ajaran Islam di daerah Amparan Jati. Syekh Datuk Kahfi merupakan buyut dari Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penguasa di Kerajaan Sumedang Larang, Jawa Barat.
Menurut legenda, di pantai utara Jawa Barat terdapat dua buah pesantren yang terkenal dan dipimpin oleh orang-orang keturunan Arab. Yang satu berada di Karawang, dipimpin oleh Syekh Quro dan yang satu lagi di Amparan Jati dipimpin oleh Syekh Nurjati atau Syekh Nurul Jati.
Sedangkan Syekh Dzatul Kahfi atau lebih mudah disebut Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Datuk Khafid yang bernama asli Idhafi Mahdi, adalah seorang muballigh asal Baghdad . Beliau tiba di Pelabuhan Muara Jati bersama rombongan sebanyak 22 orang, dua diantaranya adalah wanita, dan diterima dengan baik oleh Ki Jumajan Jati, sang syahbandar Pelabuhan Muara Jati, yang kemudian memperbolehkannya untuk menetap di sana.
Syekh Datuk Kahfi bersama rombongannya kemudian menjadi murid dari Syekh Nurjati. Bahkan kemudian, ketika memasuki usia yang telah lanjut, Syekh Nurjati lalu menunjuk Syekh Datuk Kahfi sebagai penggantinya untuk memimpin di pesantren Amparan Jati.
Tatkala Syekh Datuk Kahfi memimpin pesantren, majelis pengajiannya di Gunung Amparan Jati menjadi makin terkenal. Banyak sekali santri-santri yang ikut belajar agama Islam, diantaranya ialah putra-putri Prabu Siliwangi dengan Nyai Subanglarang. Mereka adalah Raden Walangsungsang dengan istrinya Indang Geulis, dan adiknya Nyai Rarasantang.
Mereka inilah yang kemudian berperan dalam Pembangunan Cirebon dan juga syiar Islam di wilayah Jawa Barat. Bahkan kemudian Raden Walangsungsang menjadi pendiri sekaligus Pemimpin di Cirebon.
Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para santrinya kala itu dalam membangun kejayaan Cirebon tampak sangat menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang pesat hingga mengalahkan agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan gerakan anarkis atau dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk Kahpi mensyiarkan Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil ‘alamin.
Rupanya Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahannya berbunyi, “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Datuk Kahfi yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmadal-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW yang syahid terbunuh dalam pembantaian di Padang Karbala, Iraq.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Imam Ali bin Abi Thalib, berputera
Imam Husain a.s, berputera
Imam Ali Zainal Abidin, berputera
Muhammad al-Baqir, berputera
Imam Ja’far ash-Shadiq, berputera
Ali al-Uraidhi, berputera
Muhammad al-Naqib, berputera
Isa al-Rumi, berputera
Ahmad al-Muhajir, berputera
Ubaidillah, berputera
Alawi, berputera
Muhammad, berputera
Alawi, berputera
Ali Khali’ Qosam, berputera
Muhammad Sahib Mirbath, berputera
Sayid Alwi, berputera
Sayid Abdul Malik, berputera
Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Sayid Abdul Kadir, berputera
Maulana Isa, berputera
Syekh Datuk Ahmad, berputera
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi wafat dan dimakamkan di Gunung Jati, bersamaan dengan makam Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean, dan raja-raja Kesultanan Cirebon lainnya.
Syekh Pangeran Cakrabuana Cirebon
Masyarakat Cirebon mungkin sudah tidak asing lagi dengan Pangeran Cakrabuana, menurut Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut jawa ada sebuah desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Pajajaran dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat pemukiman ke tempat pemukiman baru di Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh. Sebagai kepala pemukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelarCakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara.
Sampai saat ini Pangeran Cakrabuana dikenal sebagai salah satu Tokoh pendiri Cirebon, kepiawaian beliau memerintah di Cirebon sangat dikenal, dilihat dari beberapa peninggalan sejarah terjadi perpaduan seni dan budaya termasuk bahasa di Cirebon. Keanekaragaman suku bangsa dan agama tidak menjadi penghalang berjalannya pemerintahan saat itu, toleransi beragama sangat dijunjung tinggi sehingga siapapun yang tinggal di Cirebon saat itu bisa beraktivitas secara leluasa dan sepeninggal beliau sampai saat sekarang masih terjadi akulturasi budaya dan tentunya bukan sebagai budaya masing-masing suku bangsa tetapi sebagai budaya Cirebon termasuk bahasa yaitu bahasa Cirebon sebagai salah satu kekayaan bangsa.
Sudah sepatutnyalah kita sebagai generasi sekarang mampu menghargai dan menjunjung tinggi apa yang telah dilakukan oleh pendahulu kita, mari kita bangun Cirebon dan tentunya Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga diperhitungkan kembali di mata Internasional secara politik, perdagangan, budaya dan tentunya toleransi yang telah ditunjukan oleh para pendahulu kita
Syekh Syarif Hidayattullah Sunan Gunung Jati
Syech Syarief Hidayatulloh dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahanda Syech Syarief Hidayatulloh adalah Syarief Abdullah, seorang dari Mesir keturunan ke 17 Rosulullah SAW, bergelar Sultan Maulana Muhamad, Ibunda Syech Syarief Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang dan setelah masuk Islam berganti nama menjadi Syarifah Muda’im adalah Putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjajaran. Syech Syarief Hidayatullah berkelana untuk belajar Agama Islam dan sampai di Cirebon pada tahun 1470 Masehi.
Syech Syarief Hidayatullah dengan didukung uwanya, Tumenggung Cerbon Sri Manggana Cakrabuana alias Pangeran Walangsungsang dan didukung Kerajaan Demak, dinobatkan menjadi Raja Cerbon dengan gelar Maulana Jati pada tahun 1479.
Sejak itu pembangunan insfrastruktur Kerajaan Cirebon kemudian dibangun dengan dibantu oleh Sunan Kalijaga, Arsitek Demak Raden Sepat, yaitu Pembangunan Keraton Pakungwati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan pinggir laut antara Keraajaan Pakungwati dan Amparan Jati serta Pelabuhan Muara Jati.
Syech Maulana Jati pada Tahun 1526 Masehi, menyebarkan Islam sampai Banten dan menjadikannya Daerah Kerajaan Cirebon. Dan pada Tahun 1526 Masehi juga tentara Kerajaan Cirebon dibantu oleh Kerajaan Demak dipimpin oleh Pangli
Kelapa dan Portugis, dan diberi nama baru yaitu Jayakarta.
Pada tahun 1533 Masehi, Banten menjadi Kasultanan Banten dengan Sultannya adalah Putra dari Syech Maulana Jati yaitu Sultan Hasanuddin.
Syech Maulana Jati salah seorang Wali Sanga yang mempekenalkan visi baru bagi masyarakat tentang apa arti menjadi Pemimpin, apa makna Masyarakatm, apa Tujuan, Masyarakat, bagaimana seharusnya berkiprah di dalam dunia ini lewat Proses Pemberdyaan.
Syech Maulan Jati melakukan tugas dakwah menyebarkan Agama Islam ke berbagai lapisan Masyarakat dengan dukungan personel dan dukungan aspek organisasi kelompok Forum Walisanga, dimana forum Walisanga secara efektif dijadikan sebagai organisasi dan alat kepentingan dakwah, merupakan siasat yang tepat untuk mempercepat teresebarnya Agama Islam.
Syech Maulana Jati berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 26 Rayagung tahun 891 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi.
Tanggal Jawanya adalah 11 Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka.
Meninggal dalam usia 120 tahun, sehingga Putra dan Cucunya tidak sempat memimpin Cirebon karena meninggal terlebih dahulu. Sehingga cicitnya yang memimpin setelah Syech Maulana Jati.
Syech Syarief Hidayatullah kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati.ma Perang bernama Fatahillah merebut Sunda
Post a Comment