Kala KH. Dahlan Ahyad dan KH. Hasyim Asy’ari Beda Pendapat
PERBEDAAN ITU BISA TERJADI KARENA DUA HAL :
.
1. PERBEDAAN KARENA ILMU:
Beda pandangan karena ilmu itu biasa bahkan bisa menjadi "rahmat" adanya dan insya allah seorang yg berilmu akan berlepas dari "iri, dengki, hasud dengan "NUR ILMUNYA" tsb..lahirnya madzhab misalnya..tarikhpun bercerita bagaimana imam hambal menghormati Imam Syafi'i..dsb..dengan ilmu mrk tetap tawadlu dan saling menghargai adanya..
. "Nalar dan kapasitas setiap diripun itu berbeda.."
.
2. BEDA AKIBAT FITNAH DAN NAFSU..
.
Berbeda karena ini agak sulit dihilangkan..bisa dihilangkan dengan mengikis sang "fitnah"..mau mencari tahu sumber fitnahnya..mengkaji sebab dan akibat dari berbagai sudut...netral dan berusaha membersihkan hati..dari segala buruk sangka..hasud iri dan dengki..melepas ego jg kebencian..dengan niat lillahi ta'ala mencari "kebenaran" bukan pembenaran akan diri..yg hakikinya hanya Ia Dzat Yang Maha Benar Allah Rabbul alamin...
=========
Kala KH. Dahlan Ahyad dan KH. Hasyim Asy’ari Beda Pendapat
.
Ada tiga jenis pendapat ulama tentang perkara tersebut sebagaimana terurai dari dua kitab syarah Shahih Bukhari
itu. Pendapat pertama tidak memperbolehkan sehingga ada ‘bala’ yang
akan mengancam keberadaan jenazah. Jika ada, maka boleh dipindah.
Pendapat kedua memperbolehkannya dalam kasus-kasus tertentu. Sedangkan
pendapat yang ketiga juga memperbolehkan asalkan untuk tujuan
mendapatkan kebaikan yang lebih. Pendapat terakhir ini yang dipilih oleh
Kiai Hasyim.
Salah satu contoh yang bisa diketengahkan untuk membuktikan kedekatan
dua ulama tersebut setelah berpolemik adalah proses pendirian Nahdlatul
Ulama. Keduanya turut terlibat mendirikan. Bahkan, Kiai Hasyim ditunjuk
sebagai Rais Akbar NU, Kiai Dahlan Ahyad dipercaya sebagai wakilnya.
Begitu juga dengan Kiai Faqih Sedayu, beliau juga turut terlibat.
.
1. PERBEDAAN KARENA ILMU:
Beda pandangan karena ilmu itu biasa bahkan bisa menjadi "rahmat" adanya dan insya allah seorang yg berilmu akan berlepas dari "iri, dengki, hasud dengan "NUR ILMUNYA" tsb..lahirnya madzhab misalnya..tarikhpun bercerita bagaimana imam hambal menghormati Imam Syafi'i..dsb..dengan ilmu mrk tetap tawadlu dan saling menghargai adanya..
. "Nalar dan kapasitas setiap diripun itu berbeda.."
.
2. BEDA AKIBAT FITNAH DAN NAFSU..
.
Berbeda karena ini agak sulit dihilangkan..bisa dihilangkan dengan mengikis sang "fitnah"..mau mencari tahu sumber fitnahnya..mengkaji sebab dan akibat dari berbagai sudut...netral dan berusaha membersihkan hati..dari segala buruk sangka..hasud iri dan dengki..melepas ego jg kebencian..dengan niat lillahi ta'ala mencari "kebenaran" bukan pembenaran akan diri..yg hakikinya hanya Ia Dzat Yang Maha Benar Allah Rabbul alamin...
=========
Kala KH. Dahlan Ahyad dan KH. Hasyim Asy’ari Beda Pendapat
.
Oleh: Ayung Notonegoro*
Perbedaan pendapat di antara para ahli
ilmu bukanlah hal yang aneh. Justru banyak muncul dari perdebatan
tersebut, khazanah keilmuwan yang lebih kaya. Termasuk juga di kalangan
para kiai di Nusantara. Tak sedikit kisah yang menuturkan perbedaan
pendapat atau ijtihad di antara para kiai.
Namun, perbedaan di kalangan para kiai
itu tidak lantas menjadikan permusuhan. Bagi mereka, perbedaan
(ikhtilaf) adalah rahmat. Dari kredo inilah, perdebatan di antara para
kiai tetap panas di meja keilmuwan, namun tetap hangat dan gayeng di
luar itu.
Salah satu perbedaan pendapat di
kalangan para kiai adalah kisah antara Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Surabaya
dengan Kiai Muhammad Hasyim Asy’ari Jombang. Keduanya dikenal sebagai
ulama yang pilih tanding. Keilmuwannya dalam bidang agama tak ada yang
meragukan.
Perbedaan tersebut, bermula dari
persoalan Masjid Paneleh di Surabaya. Masjid tua itu pada kurun dekade
20-an, hendak direnovasi. Bangunannya yang kecil tak lagi menampung
jamaah. Akan tetapi, ketika hendak diperluas, ada areal pemakaman yang
mengelilinginya. Pemakaman kuno tersebut menjadi polemik tersendiri.
Boleh atau tidak menggusur kuburan tersebut untuk perluas masjid?
Dalam buku “Penyerap Gemuruh” (ada pula
yang mengartikan “Penyirep Gemuruh”) yang ditulis oleh KH. Wahab
Hasbullah terhadap polemik tersebut, pihak takmir, setelah melakukan
konsultasi dan kajian hukum syar’i, memutuskan untuk melakukan perluasan
masjid. Namun, di tengah proses pembangunan, pihak pekerja menemukan
belulang manusia kala mencangkul tanah bekas kubur yang hendak dijadikan
pondasi masjid. Polemik pun kembali menghangat.
Pihak takmir pun kembali mengadakan
musyawarah untuk mengambil keputusan. Hendak dilanjutkan atau tidak
pembangunan tersebut. Musyawarah atau lebih tepatnya disebut bahtsul
masail itu dihelat pada 28 Dzulhijah 1342 H.
Masih dalam sumber yang sama, bahtsul
masail tersebut setidaknya dihadiri oleh 14 kiai sepuh di Surabaya dan
sekitarnya. Di antaranya adalah Kiai Munthaha Bangkalan, Kiai Hasyim
Asy’ari Jombang, Kiai Bisri Syansuri Jombang, Kiai Faqih Sedayu Gresik,
Kiai Ahmad Dahlan Ahyad Kebondalem Surabaya dan tentunya Kiai Wahab
sendiri yang merekam kejadian tersebut.
Dari permusyawaratan tersebutlah, muncul
polemik yang melibatkan dua sosok ulama terpandang, yakni KH. Ahmad
Dahlan Ahyad Surabaya dengan KH. Hasyim Asy’ari Jombang. Kiai Hasyim
berpendapat bahwa pembangunan boleh dilanjutkan, sedangkan Kiai Dahlan
memutuskan sebaliknya.
Argumentasi yang dibangun oleh Kiai Hasyim – sebagaimana tercatat dalam kitab Penyerap Gemuruh – berlandaskan pada kitab Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajar al Asqalani dan Tuhfatul Bari
karya Imam Zakariya al Anshori. Dari hasil bacaannya tentang bab
diperbolehkannya mengeluarkan mayit dari dalam kubur dan
batasan-batasannya dari dua kitab itu, Kiai Hasyim mengikuti satu
pendapat dari tiga pendapat yang muncul.
Ada beberapa dalil yang dirujuk oleh
Kiai Hasyim sebelum memilih pendapat tersebut. Ia merujuk pada hadis
“permudalah jangan dipersulit “يسروا ولاتعسروا” serta firman Allah dalam
surat Al-Baqarah: 185, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tak
menghendaki kesulitan.”
Adapula hadis yang diriwayatkan oleh
Aisyah ra, “Perkara yang paling baik menurut Rasulullah SAW di antara
dua perkara yang harus dipilih adalah perkara yang paling mudah di
antara keduanya…..”
Dari runtutan argumen tersebut Kiai Hasyim memutuskan sebagaimana ditulis oleh Kiai Wahab sebagai berikut:
“Istidlal (mengambil dalil) yang
dilakukan oleh Kiai Hasyim terhadap bagusnya pekerjaan tersebut dan
diperbolehkannya penggalian, maka ia memperbolehkan untuk sengaja
menggalinya dengan niatan untuk kemaslahatan …”
Akan tetapi, argumentasi dari Kiai
Hasyim yang cukup runtut dan jelas itu, mendapat sanggahan dari Kiai
Dahlan Ahyad. Menurutnya, meneruskan pembangunan masjid dengan mencaplok
tanah kubur yang terbukti terdapat tulang belulangnya tersebut sebagai
perbuatan haram dan munkar. “Hajat apapun tetap tidak bisa untuk
meneruskan (pekerjaan tersebut -pentj).”
Sayangnya, Kiai Wahab tak menjabarkan
secara rinci landasan dalil dan argumentasi Kiai Ahmad Dahlan Ahyad
tersebut. Di mana kala itu, ia bersama dengan Kiai Faqih Sedayu menjadi
pihak yang menolak.
Akhirnya, berdasarkan musyawarah
tersebut, diambil suara terbanyak yang memperbolehkan meneruskan
pembangunan Masjid Paneleh. Kiai Ahyad yang tak sepakat, mufaraqah
terhadap keputusan tersebut.
Kiai Miftahul Akhyar mengutip kisah dari
bapaknya menceritakan sikap Kiai Ahyad selanjutnya. Kiai kelahiran
Surabaya 30 Oktober 1885 itu, sepanjang hidupnya tak berkenan untuk
sholat di Masjid Paneleh.
“Secara pribadi pernah diceritai ayah
saya waktu kecil tentang sikap konsekuen beliau, Kiai Dahlan, baik
secara keilmuan maupun praktik terhadap keputusan para ulama kaliber
tentang perluasan Masjid Ampel (Paneleh – peny) Surabaya yang seingat
saya sempat menggusur makam sekitarnya. Beliau tidak setuju dengan
keputusan itu sehingga sebagai konsekuensinya beliau tidak berkenan
sholat di Masjid tersebut,” tulis Kiai Miftahul Ahyar dalam kata
pengantar buku “Biografi KH. Ahmad Dahlan Ahyad: Aktivis Pergerakan dan
Pembela Ideologi Aswaja” (Pustaka Idea: 2017).
Meski terlibat polemik hingga mufaraqah
demikian, tidak lantas membuat kedua ulama sepuh itu bertingkai.
Konsekuensi akademis tak serta merta berpengaruh pada ranah sosial.
Keduanya tetap menjalin komunikasi dan melakukan perjuangan bersama.
Hal ini tak lain, karena mereka semua memahami dengan baik kredo: perbedaan adalah rahmat. Patut diteladani, bukan?
Post a Comment