GUREMKAN PKS SEBAGAI PARTAI MUNAFIK BERKEDOK AGAMA
Partai ini yang selalu membawa bawa nama agama dari jualan ayat hingga mayat !!!, yang membuat tidaklah menaruh simpatik sama sekali, jualan isu SARA di DKI, namun gandeng non muslim misalnya di daerah lain..cara cara kotor yg PKS usung, disamping kadernya yang banyak terlibat kasus.
Susupan Wahabi yang inginkan Arabisasi Indonesia, salah satu Partai tempat "gerakan transnasional itu berada" dengan agenda mereka RUNTUHKAN NU kuasai INDONESIA.
PKS berada di ambang menjadi partai gurem.
Oleh: Kajitow Elkayeni
Hari-hari belakangan ini bukan waktu yang menyenangkan bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Isu-isu khas PKS yang berbau agama tak laku lagi. Dalam beberapa pemilihan kepala daerah, PKS kehilangan taji.
Di Sumut, dengan komposisi suara sama kuat, mereka masih bisa sedikit
bermain. Namun dengan menguatnya elektabilitas Jarot di masa akhir
menjelang hari tenang menunjukkan, isu khas PKS tak banyak berguna.
Masyarakat agaknya belajar banyak dari tragedi DKI Jakarta.
Sedangkan di Jawa Barat yang menjadi lumbung suara partai tersebut, nyatanya suara mereka melempem. Kandidat Cawagubnya tak diterima hangat oleh publik, Bang Jack dan mantan arsitek muda itu lebih diminati. Sudrajat-Ahmad Syaikhu menjadi anak bawang yang kalah segala-galanya.
Tentunya ini melahirkan satu pertanyaan besar, ke mana perginya militansi simpatisan Partai Keadilan Sejahtera?
Fakta di Jabar itu menunjukkan, suara PKS bukan suara solid. Mereka terlihat besar ketika rakyat tidak punya pilihan lain. Sedangkan di Jabar, mereka punya dua pilihan lain yang jelas, sama-sama muslim dan sama-sama berpengalaman.
Di Jawa Tengah, kandang banteng sudah memiliki resistensi terhadap sepak terjang PKS. Apalagi ketika Ganjar dipasangkan Gus Yasin, nyaris tidak ada perlawanan berarti. Elektabilitas Ganjar-Yasin mencapai 70 persen. Isu-isu yang dijadikan peluru untuk menyerang mereka mental.
Ganjar punya kelemahan dengan isu korupsi KTP-el. Namun agaknya isu itu juga tak cukup kuat menggoyangkan pilihan simpatisan banteng. Bagi kaum akar rumput, isu korupsi bukan aib terbesar. Apalagi nama Gus Yasin menjadi garansi keabsahan Ganjar.
Akhirnya masyarakat bawah melihat isu korupsi itu hanya dagangan politik kelas atas. Oleh sebab itu, suara Ganjar-Yasin mutlak. Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra sampai harus mendatangkan Prabowo untuk mendongkraknya. Hasilnya tetap nihil. Laju suara Ganjar-Yasin tak terbendung.
Di Jawa Timur, PKS harus menekuk muka. Dua kandidat yang muncul bukan pilihan mereka. Keduanya nahdliyin dan tipikal orang yang setia terhadap rezim pemerintah, lawan politik mereka.
Di tanah kelahiran NU, “dosa” PKS terhadap Gus Yahya membayangi. Jika dulu sentimen terhadap PKS tak begitu kuat, mungkin hanya di level atas yang melek informasi, pasca-peristiwa Gus Yahya itu, perlawan terhadap partai tersebut semakin solid dan menyeluruh. Suara-suara perlawanan merembes sampai level bawah. Aktivis muda NU bersuara sama: "guremkan PKS !"
Maka mereka tak punya pilihan selain mencari suaka. PKS yang secara hitam-putih berseberangan dengan PDIP, rela merapat demi memperoleh sedikit perlindungan suara. Hal itu penting dilakukan untuk mengakomodir hajat mereka ke depan.
Pudarnya pesona PKS itu di antaranya karena citra partai islami dirusak oleh kadernya sendiri. Dulu mereka dianggap pengecualian oleh publik. PKS dianggap sebagai biduk penyelamat. Sebuah harapan baru di tengah budaya korup. Namun mega skandal oleh elit partainya melunturkan keyakinan itu.
Beberapa kali kelakuan mesum oknum PKS juga merontokkan citra partai islam tadi. Nyatanya label islami tak menyelamatkan mereka dari kebejatan. Hal itu membuktikan, semua partai politik sama. Tak peduli apa embel-embelnya.
Pada akhirnya, nama dan level mereka sama seperti partai lain. Ambisi dan kesalahan mereka tak ubahnya partai politik lain. Mau agamis atau nasionalis sama saja.
Kesalahan terbesar lainnya adalah, mereka salah mencari musuh. Sejarah telah mencatat, musuh-musuh NU tidak ada yang pernah bertahan lama. Melawan NU berarti menggali kubur mereka sendiri. Secara kasat mata, NU seolah-olah lemah, udik, tertinggal. Namun sejatinya, organisasi keagamaan ini sangat kuat.
Militansi jamaah NU sudah teruji waktu. Satu-satunya hal yang membuat militansi itu terlihat redup adalah karena para kyainya sendiri yang menggembosi. Padahal mereka tak mungkin bergerak sendiri. Semarah apa pun jemaah NU, mereka akan menunggu komando.
Sejarah telah menempa mereka untuk jeli melihat situasi. Dulu, amarah mereka pernah dimanfaatkan Orde Baru untuk mengganyang PKI. Setelah musuh bersama itu tumbang, giliran mereka yang diawasi dan dikekang oleh Soeharto. Dalam Buku Putih NU, Benturan NU-PKI 1948-1965, kejelasan mengenai hal itu dibeberkan. Terutama tulisan Gusdur mengenai rekonsiliasi.
Pasca-penghantaman Gus Yahya itu, PKS mendapat serangan balik yang tak main-main. Warga NU semakin bertekad mengguremkan PKS. Situs-situs yang dikelola aktivis muda NU bergerilya dengan tujuan sama. Seleb medsos dengan basis NU kultural juga sibuk membuat framing.
Selain bermasalah dengan NU, kelompok nasionalis juga mulai berani mengungkapkan kekesalan terhadap PKS. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Fokas mendemo kantor DPP PKS di Jakarta (14 Mei 2018). Demo serupa juga dilakukan di Jabar oleh Forum Pasundan Bergerak (15 Mei 2018). Para pendemo itu geram dengan sikap PKS yang dianggap mendukung tindakan terorisme, dengan menyebut pemerintah merekaysa aksi teror Mako Brimob.
Jawa Barat yang menjadi kantong PKS telah menunjukkan fakta mencengangkan. Kader pilihan cawagub mereka tidak direspon hangat oleh publik. Ini menjadi tamparan keras bagi PKS yang sejak lama berbangga diri dengan lumbung suara mereka. Pukulan telak yang diterima bertubi-tubi oleh PKS itu adalah sebuah indikator jelas, masa depan partai ini suram.
Saat partai-partai lain berbenah, PKS masih sibuk memoles gaya lama. Padahal mesin politik mereka berupa halaqoh di kampus, masjid, muamalah sosial, tak begitu efektif lagi. Orang-orang terkejut dengan maraknya sel teroris yang menyusup ke dalam kegiatan seperti itu. Nama PKS ikut terseret dan dicoreng hitam.
Tujuan PKS bersikap lunak itu sebenarnya untuk menampung suara resah HTI dan sel tidur teroris di kalangan kaum fundamentalis. Namun sayangnya, itu tidak mendukung agenda regional mereka. Jika serangan terhadap PKS ini berkesinambungan, ancaman menjadi partai gurem ada di depan mata.
Agaknya hal inilah yang membuat kader PKS cepat-cepat berganti muka. Beberapa oknum mereka mulai menjual nama Kyai NU, seperti Kyai Said Aqil Siroj dan Gus Solah. Seolah-olah kyai NU memberikan dukungan untuk kandidat cawagub mereka. Padahal faktanya tidak demikian.
Di hari-hari yang berat ini, wajar jika PKS terlihat gelisah. Masa depan mereka semakin bertambah gelap dan suram.
Sedangkan di Jawa Barat yang menjadi lumbung suara partai tersebut, nyatanya suara mereka melempem. Kandidat Cawagubnya tak diterima hangat oleh publik, Bang Jack dan mantan arsitek muda itu lebih diminati. Sudrajat-Ahmad Syaikhu menjadi anak bawang yang kalah segala-galanya.
Tentunya ini melahirkan satu pertanyaan besar, ke mana perginya militansi simpatisan Partai Keadilan Sejahtera?
Fakta di Jabar itu menunjukkan, suara PKS bukan suara solid. Mereka terlihat besar ketika rakyat tidak punya pilihan lain. Sedangkan di Jabar, mereka punya dua pilihan lain yang jelas, sama-sama muslim dan sama-sama berpengalaman.
Di Jawa Tengah, kandang banteng sudah memiliki resistensi terhadap sepak terjang PKS. Apalagi ketika Ganjar dipasangkan Gus Yasin, nyaris tidak ada perlawanan berarti. Elektabilitas Ganjar-Yasin mencapai 70 persen. Isu-isu yang dijadikan peluru untuk menyerang mereka mental.
Ganjar punya kelemahan dengan isu korupsi KTP-el. Namun agaknya isu itu juga tak cukup kuat menggoyangkan pilihan simpatisan banteng. Bagi kaum akar rumput, isu korupsi bukan aib terbesar. Apalagi nama Gus Yasin menjadi garansi keabsahan Ganjar.
Akhirnya masyarakat bawah melihat isu korupsi itu hanya dagangan politik kelas atas. Oleh sebab itu, suara Ganjar-Yasin mutlak. Partai Keadilan Sejahtera dan Gerindra sampai harus mendatangkan Prabowo untuk mendongkraknya. Hasilnya tetap nihil. Laju suara Ganjar-Yasin tak terbendung.
Di Jawa Timur, PKS harus menekuk muka. Dua kandidat yang muncul bukan pilihan mereka. Keduanya nahdliyin dan tipikal orang yang setia terhadap rezim pemerintah, lawan politik mereka.
Di tanah kelahiran NU, “dosa” PKS terhadap Gus Yahya membayangi. Jika dulu sentimen terhadap PKS tak begitu kuat, mungkin hanya di level atas yang melek informasi, pasca-peristiwa Gus Yahya itu, perlawan terhadap partai tersebut semakin solid dan menyeluruh. Suara-suara perlawanan merembes sampai level bawah. Aktivis muda NU bersuara sama: "guremkan PKS !"
Maka mereka tak punya pilihan selain mencari suaka. PKS yang secara hitam-putih berseberangan dengan PDIP, rela merapat demi memperoleh sedikit perlindungan suara. Hal itu penting dilakukan untuk mengakomodir hajat mereka ke depan.
Pudarnya pesona PKS itu di antaranya karena citra partai islami dirusak oleh kadernya sendiri. Dulu mereka dianggap pengecualian oleh publik. PKS dianggap sebagai biduk penyelamat. Sebuah harapan baru di tengah budaya korup. Namun mega skandal oleh elit partainya melunturkan keyakinan itu.
Beberapa kali kelakuan mesum oknum PKS juga merontokkan citra partai islam tadi. Nyatanya label islami tak menyelamatkan mereka dari kebejatan. Hal itu membuktikan, semua partai politik sama. Tak peduli apa embel-embelnya.
Pada akhirnya, nama dan level mereka sama seperti partai lain. Ambisi dan kesalahan mereka tak ubahnya partai politik lain. Mau agamis atau nasionalis sama saja.
Kesalahan terbesar lainnya adalah, mereka salah mencari musuh. Sejarah telah mencatat, musuh-musuh NU tidak ada yang pernah bertahan lama. Melawan NU berarti menggali kubur mereka sendiri. Secara kasat mata, NU seolah-olah lemah, udik, tertinggal. Namun sejatinya, organisasi keagamaan ini sangat kuat.
Militansi jamaah NU sudah teruji waktu. Satu-satunya hal yang membuat militansi itu terlihat redup adalah karena para kyainya sendiri yang menggembosi. Padahal mereka tak mungkin bergerak sendiri. Semarah apa pun jemaah NU, mereka akan menunggu komando.
Sejarah telah menempa mereka untuk jeli melihat situasi. Dulu, amarah mereka pernah dimanfaatkan Orde Baru untuk mengganyang PKI. Setelah musuh bersama itu tumbang, giliran mereka yang diawasi dan dikekang oleh Soeharto. Dalam Buku Putih NU, Benturan NU-PKI 1948-1965, kejelasan mengenai hal itu dibeberkan. Terutama tulisan Gusdur mengenai rekonsiliasi.
Pasca-penghantaman Gus Yahya itu, PKS mendapat serangan balik yang tak main-main. Warga NU semakin bertekad mengguremkan PKS. Situs-situs yang dikelola aktivis muda NU bergerilya dengan tujuan sama. Seleb medsos dengan basis NU kultural juga sibuk membuat framing.
Selain bermasalah dengan NU, kelompok nasionalis juga mulai berani mengungkapkan kekesalan terhadap PKS. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Fokas mendemo kantor DPP PKS di Jakarta (14 Mei 2018). Demo serupa juga dilakukan di Jabar oleh Forum Pasundan Bergerak (15 Mei 2018). Para pendemo itu geram dengan sikap PKS yang dianggap mendukung tindakan terorisme, dengan menyebut pemerintah merekaysa aksi teror Mako Brimob.
Jawa Barat yang menjadi kantong PKS telah menunjukkan fakta mencengangkan. Kader pilihan cawagub mereka tidak direspon hangat oleh publik. Ini menjadi tamparan keras bagi PKS yang sejak lama berbangga diri dengan lumbung suara mereka. Pukulan telak yang diterima bertubi-tubi oleh PKS itu adalah sebuah indikator jelas, masa depan partai ini suram.
Saat partai-partai lain berbenah, PKS masih sibuk memoles gaya lama. Padahal mesin politik mereka berupa halaqoh di kampus, masjid, muamalah sosial, tak begitu efektif lagi. Orang-orang terkejut dengan maraknya sel teroris yang menyusup ke dalam kegiatan seperti itu. Nama PKS ikut terseret dan dicoreng hitam.
Tujuan PKS bersikap lunak itu sebenarnya untuk menampung suara resah HTI dan sel tidur teroris di kalangan kaum fundamentalis. Namun sayangnya, itu tidak mendukung agenda regional mereka. Jika serangan terhadap PKS ini berkesinambungan, ancaman menjadi partai gurem ada di depan mata.
Agaknya hal inilah yang membuat kader PKS cepat-cepat berganti muka. Beberapa oknum mereka mulai menjual nama Kyai NU, seperti Kyai Said Aqil Siroj dan Gus Solah. Seolah-olah kyai NU memberikan dukungan untuk kandidat cawagub mereka. Padahal faktanya tidak demikian.
Di hari-hari yang berat ini, wajar jika PKS terlihat gelisah. Masa depan mereka semakin bertambah gelap dan suram.
Post a Comment