KISAH SYEIKH IMRAN HOSEIN DENGAN MAULANA Dr. FAZLUR RAHMAN ANSAR
Saya bertemu Maulana Ansari untuk
pertama kalinya pada tahun 1960 di kampung halaman saya Trinidad di
Kepulauan Karibia ketika saya baru berusia 18 tahun. Saya telah
melakukan beberapa penelitian dalam sains, dan saya cukup terkejut
ketika mengetahui bahwa seorang Maulana (seorang sarjana agama Islam
dari peringkat yang sangat tinggi) akan mengunjungi Trinidad dari
Pakistan dan dia akan memberikan ceramah di Masjid yang berada di desa
saya, desa Montrose dengan topik berjudul “ Islam dan Sains “. (Masjid
itu selanjutnya dinamai menurut nama beliau sebagai Masjid al-Ansārī.)
Saya menanggapi berita itu dengan skeptis, Karena pada saat berusia muda
saya memiliki pemahaman tidak mungkin ada hubungan antara Islam dan
Sains.
Pada malam ceramah beliau memukau saya dengan pengetahuan ilmiah yang dimilikinya, begitu juga dengan pengetahuan islamnya, yang mana sampai saat ini sama sekali saya abaikan. Saya terkejut ketika mengetahui bahwasanya Al Quran telah, berulang kali saya katakan, muncul sebagai “ bentuk Observasi “ dan untuk “ Menalar secara Induksi “ , Yang mana hal itu sekarang ini disebut dengan “ penelitian Ilmiah “, sebagai sebuah metode yang harus digunakan oleh siapa pun yang berusaha untuk menembus dan memahami realitas materi alam semesta. Saya juga terkejut ketika mengetahui bahwasanya pengetahuan yang bermunculan ke dunia beberapa ratus tahun terakhir ini sebagai hasil dari berbagai penemuan ilmu pengetahuan modern, seperti dalam embriologi, ternyata sudah tercantum di dalam Al-Qur'an.
Saya bahkan lebih terkejut ketika Maulānā memberikan ceramah di Lapangan Woodford di ibu kota Port of Spain, Sebuah ceramah mengenai “ Islam dan Peradaban Barat “ dihadapan penonton yang memenuhi Lapangan yang memiliki kapasitas besar, dan dihadiri oleh Dr. Eric E. Williams, Perdana Menteri Trinidad dan Tobago lulusan Universitas Oxford yang duduk disebelahnya diatas panggung. Dr. Williams sendiri telah memberikan “ pukulan berat “ terhadap Peradaban Barat melalui tesis PhD-nya di Universitas Oxford yang berjudul “ Kapitalisme dan Perbudakan “. Jelas sekali terlihat, bahwasanya sang Perdana Menteri yang terpelajar tersebut begitu kagum dengan keilmuan yang dimiliki Maulana saat beliau membedah dasar-dasar kepercayaan pagan yang tidak bertuhan yang menjadi landasan Peradaban biadab dan menindas yang sangat arogan serta menipu diri dengan anggapan sebagai peradaban terbaik yang pernah dimiliki dunia sepanjang sejarah umat manusia.
Pengetahuan Islam Maulana yang dinamis, disertai dengan daya tarik magnetis kepribadian Sufi beliau, mengubah hidup saya.
Beliau menginspirasi saya sedemikian rupa, sehingga saya juga ingin menjadi seorang Cendekiawan Islam. Pada November 1963, disaat berusia dua puluh satu tahun, saya menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir, yang merupakan Institusi Perguruan Tinggi Islam yang paling terkenal di dunia. Tapi di Al Azhar saya tidak bisa menemukan pengetahuan islam yang mempesona seperti yang saya lihat dipaparkan oleh Maulana Ansari tiga tahun sebelumnya. Para Ulama Al Azhar terlihat oleh saya seperti Terjebak dalam waktu dan tidak bisa dibandingkan dengan maulana dalam pemahaman ilmiah mereka terhadap realitas zaman modern yang aneh dan menantang, juga mereka tidak mampu untuk memberikan respon secara Islami misalnya untuk tantangan yang ditimbulkan oleh Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern, Revolusi Feminis, dan sebagainya.
Saya kemudian meninggalkan Mesir dan pergi ke Pakistan pada bulan Agustus 1964 untuk menjadi murid Maulana di Institusi Studi Islam Aleemiyah di Karachi, dan itu adalah keputusan terbaik yang pernah saya ambil sepanjang hidup [Institusi ini masih ada hingga sekarang di Blok B Islamic Center yang berada di pinggiran Karachi, Nazimabad utara ]. Saya menetap untuk menjadi muridnya sampai saya lulus dari Institusi tersebut tujuh tahun kemudian pada tahun 1971 saat berusia dua puluh sembilan tahun dengan Gelar “ Al-Ijāzah Al ’Aliyah, dan pulang ke Trinidad. Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi dalam hidup, karena beliau meninggal tiga tahun kemudian pada tahun1974 di Pakistan dalam usia 60 tahun.
Ada banyak hal tentang Maulana yang benar-benar ingin saya tulis dan catat untuk sejarah. Akan tetapi sejauh ini yang paling penting dari semua aspek kehidupannya yang kaya dan beraneka ragam adalah cara berpikir religiusnya, dan itulah yang coba saya lakukan , mencoba memberikan penjelasan singkat mengenai permasalahan tersebut melalui esai singkat ini. Sangat penting bagi saya untuk melakukannya, bukan hanya karena keilmuannya yang luar biasa mampu memberikan panduan bagi pengetahuan Islam modern untuk melepaskan diri dari penderitaan menyakitkan dan menyedihkan saat ini. (Anda tidak akan bisa menemukan seorang ulama Islam terkemuka saat ini yang berani terang-terangan menyatakan bahwasanya uang kertas dan sistem moneter adalah sesuatu yang palsu, curang dan haram), tetapi juga dikarenakan pengetahuan beliau telah memainkan peran penting dalam membimbing dan membantu saya dalam penulisan buku pelopor tentang Dajjal, Al Masih Palsu yang merupakan buku terbaru dalam Seri Kenangan Ansari.
Pada malam ceramah beliau memukau saya dengan pengetahuan ilmiah yang dimilikinya, begitu juga dengan pengetahuan islamnya, yang mana sampai saat ini sama sekali saya abaikan. Saya terkejut ketika mengetahui bahwasanya Al Quran telah, berulang kali saya katakan, muncul sebagai “ bentuk Observasi “ dan untuk “ Menalar secara Induksi “ , Yang mana hal itu sekarang ini disebut dengan “ penelitian Ilmiah “, sebagai sebuah metode yang harus digunakan oleh siapa pun yang berusaha untuk menembus dan memahami realitas materi alam semesta. Saya juga terkejut ketika mengetahui bahwasanya pengetahuan yang bermunculan ke dunia beberapa ratus tahun terakhir ini sebagai hasil dari berbagai penemuan ilmu pengetahuan modern, seperti dalam embriologi, ternyata sudah tercantum di dalam Al-Qur'an.
Saya bahkan lebih terkejut ketika Maulānā memberikan ceramah di Lapangan Woodford di ibu kota Port of Spain, Sebuah ceramah mengenai “ Islam dan Peradaban Barat “ dihadapan penonton yang memenuhi Lapangan yang memiliki kapasitas besar, dan dihadiri oleh Dr. Eric E. Williams, Perdana Menteri Trinidad dan Tobago lulusan Universitas Oxford yang duduk disebelahnya diatas panggung. Dr. Williams sendiri telah memberikan “ pukulan berat “ terhadap Peradaban Barat melalui tesis PhD-nya di Universitas Oxford yang berjudul “ Kapitalisme dan Perbudakan “. Jelas sekali terlihat, bahwasanya sang Perdana Menteri yang terpelajar tersebut begitu kagum dengan keilmuan yang dimiliki Maulana saat beliau membedah dasar-dasar kepercayaan pagan yang tidak bertuhan yang menjadi landasan Peradaban biadab dan menindas yang sangat arogan serta menipu diri dengan anggapan sebagai peradaban terbaik yang pernah dimiliki dunia sepanjang sejarah umat manusia.
Pengetahuan Islam Maulana yang dinamis, disertai dengan daya tarik magnetis kepribadian Sufi beliau, mengubah hidup saya.
Beliau menginspirasi saya sedemikian rupa, sehingga saya juga ingin menjadi seorang Cendekiawan Islam. Pada November 1963, disaat berusia dua puluh satu tahun, saya menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir, yang merupakan Institusi Perguruan Tinggi Islam yang paling terkenal di dunia. Tapi di Al Azhar saya tidak bisa menemukan pengetahuan islam yang mempesona seperti yang saya lihat dipaparkan oleh Maulana Ansari tiga tahun sebelumnya. Para Ulama Al Azhar terlihat oleh saya seperti Terjebak dalam waktu dan tidak bisa dibandingkan dengan maulana dalam pemahaman ilmiah mereka terhadap realitas zaman modern yang aneh dan menantang, juga mereka tidak mampu untuk memberikan respon secara Islami misalnya untuk tantangan yang ditimbulkan oleh Revolusi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern, Revolusi Feminis, dan sebagainya.
Saya kemudian meninggalkan Mesir dan pergi ke Pakistan pada bulan Agustus 1964 untuk menjadi murid Maulana di Institusi Studi Islam Aleemiyah di Karachi, dan itu adalah keputusan terbaik yang pernah saya ambil sepanjang hidup [Institusi ini masih ada hingga sekarang di Blok B Islamic Center yang berada di pinggiran Karachi, Nazimabad utara ]. Saya menetap untuk menjadi muridnya sampai saya lulus dari Institusi tersebut tujuh tahun kemudian pada tahun 1971 saat berusia dua puluh sembilan tahun dengan Gelar “ Al-Ijāzah Al ’Aliyah, dan pulang ke Trinidad. Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi dalam hidup, karena beliau meninggal tiga tahun kemudian pada tahun1974 di Pakistan dalam usia 60 tahun.
Ada banyak hal tentang Maulana yang benar-benar ingin saya tulis dan catat untuk sejarah. Akan tetapi sejauh ini yang paling penting dari semua aspek kehidupannya yang kaya dan beraneka ragam adalah cara berpikir religiusnya, dan itulah yang coba saya lakukan , mencoba memberikan penjelasan singkat mengenai permasalahan tersebut melalui esai singkat ini. Sangat penting bagi saya untuk melakukannya, bukan hanya karena keilmuannya yang luar biasa mampu memberikan panduan bagi pengetahuan Islam modern untuk melepaskan diri dari penderitaan menyakitkan dan menyedihkan saat ini. (Anda tidak akan bisa menemukan seorang ulama Islam terkemuka saat ini yang berani terang-terangan menyatakan bahwasanya uang kertas dan sistem moneter adalah sesuatu yang palsu, curang dan haram), tetapi juga dikarenakan pengetahuan beliau telah memainkan peran penting dalam membimbing dan membantu saya dalam penulisan buku pelopor tentang Dajjal, Al Masih Palsu yang merupakan buku terbaru dalam Seri Kenangan Ansari.
Post a Comment