YAMAN KIAN MEMBARA NAMUN JUGA YAMAN YANG TERLUPAKAN

APA BEDANYA DALAM TRIANGLE NUBUWAH AKHIR ZAMAN ANTARA : YAMAN SYAM DAN NAJD..??? KEKUTAN "DO'A" ITU SALAH SATU JAWABAN, DO'A SIAPA...??? DO'A DARI NABI BESAR MUHAMMAD SHOLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM..TERIRING PULA DO'A SAYYIDINA ABU BAKAR ASH SHIDDIQ BAGI YEMEN
TINGGAL KITA TONTON SAJA YANG MANA YANG AKAN AMBRUK TOH SUDAH ADA PETUNJUK..


Adeq Abdullah Saleh al-Guraizea baru 25 tahun dan jalan di depannya mestinya masih sangat panjang. Sadeq, yang lahir dan tumbuh besar di Kota Sanaa, Yaman, tinggal selangkah lagi menjadi master teknologi informasi di Universitas Teknologi Kreatif Limkokwing di Selangor, Malaysia.
Tiga bulan lalu, Sadeq pulang ke Sanaa untuk menikah dengan sang pujaan hati. Tapi sial bagi Sadeq, beberapa hari seusai resepsi pernikahan, saat dia berniat terbang kembali ke Malaysia, pesawat-pesawat Arab Saudi kembali menebar bom di atas Kota Sanaa. Bandar udara ditutup, Sadeq terpaksa menunda niatnya.

Pada Sabtu siang, 8 Oktober lalu, dia menemani ayahnya, Abdullah Saleh, menghadiri upacara pemakaman ulama Galal al-Rawishan di Distrik Al-Sala al-Kubra. “Kami datang untuk menyampaikan bela sungkawa,” Abdullah menuturkan kejadian hari itu kepada Guardian. Sejumlah tokoh penting Houthi–pengikut Abdul Malik al-Houthi–hadir dalam upacara tersebut. “Aku duduk di sebelah kanan dan anakku duduk lima meter di depanku.”
Sekitar pukul 3 sore, terdengar suara pesawat tempur meraung di atas Kota Sanaa, sembari menebar maut. Bom pertama menghajar gedung tempat orang-orang sedang berduka itu. “Atap runtuh dan aku terluka…. Aku buru-buru lompat keluar dari gedung lewat jendela. Aku pikir Sadiq juga ikut lari ke luar,” kata Abdullah. Lantaran tak melihat putranya, dia kembali masuk ke gedung. Saat itulah ledakan bom kedua merontokkan sebagian besar bangunan.


Sadeq, pengantin baru itu, tak selamat, demikian pula 155 orang lainnya. Ada ratusan warga sipil yang juga terluka akibat pengeboman serampangan itu. Padahal, menurut ayahnya, Sadeq tak punya urusan dengan perang di Yaman. Dia tak mendukung milisi Houthi, juga bukan loyalis Presiden Yaman yang terusir, Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang disokong Arab Saudi.

“Aku masih tak percaya telah kehilangan putraku….. Ini kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan hal yang paling aneh, kejahatan itu dilakukan oleh negara Islam bernama Kerajaan Arab Saudi,” kata Abdullah. “Mereka tak membedakan warga sipil dengan target militer.”

Arab Saudi, seperti dikutip BBC, mengakui bahwa pesawat tempur yang menjatuhkan bom di Kota Sanaa milik mereka. Pejabat militer Saudi berkilah, serangan ngawur ke target sipil itu dilakukan berdasarkan “informasi yang buruk”.

Korban sipil akibat serangan serampangan seperti itu bukan satu kali terjadi di Yaman. Lembaga kemanusiaan Human Rights Watch menghitung, pasukan gabungan negara-negara Arab yang disokong Amerika Serikat dan Inggris sudah 58 kali menyerang target-target sipil. Milisi Houthi, yang disokong Iran, sebenarnya juga tak bersih dari dosa. Tangan mereka juga bergelimang darah warga Yaman.


Sejak pasukan gabungan yang dipimpin Arab Saudi mengirimkan mesin-mesin perangnya ke Yaman pada Maret 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menaksir ada lebih dari 10 ribu jiwa melayang dalam perang. Gara-gara perang berkepanjangan, menurut Badan PBB untuk urusan anak-anak (UNICEF), lebih dari 1,5 juta anak-anak Yaman hidup sengsara. Mereka kekurangan gizi, bahkan kondisi 370 ribu anak di antaranya benar-benar parah. 

Tak seperti perang di Suriah dan Irak, yang terus dipelototi media dan penguasa negara-negara besar, perang brutal di Yaman seperti terlupakan. Padahal korban terus berjatuhan. “Aku heran dengan sikap diam internasional pada kejahatan terhadap rakyat tak berdosa di Yaman. Mengapa mereka tak melakukan apa pun? Apakah kami bukan manusia?” Abdullah Saleh meluapkan kemarahannya. “Arab Saudi mengincar kami lantaran kami tak punya uang untuk membeli sikap diam internasional.”

 Bermula dari perkumpulan pelajar Believing Youth yang dipelopori oleh Hussein al-Houthi pada 1992, kelompok Islam Syiah Zaidiyah ini menjadi gerakan perlawanan terhadap pemerintahan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh yang mereka anggap korup. Presiden Ali Abdullah sempat mengajak Hussein bertemu, tapi undangan itu ditolak mentah-mentah. Sebagai balasannya, Presiden Ali Abdullah mengirimkan ribuan prajuritnya untuk menumpas gerakan Houthi.


Setelah Hussein tewas dibunuh pasukan pemerintah, sang adik, Abdul Malik, mengambil alih pimpinan milisi Houthi. Abdul menyulap milisi Houthi menjadi kekuatan yang tangguh. Dua tahun lalu, dari basis mereka di wilayah utara Yaman, milisi Houthi menyerbu ke selatan dan menguasai Ibu Kota Sanaa. Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi sempat jadi tawanan mereka. Disokong mesin-mesin perang Arab Saudi dan gabungan negara-negara Arab, Presiden Abd-Rabbu Mansour menyerang balik.

Begitu cepatnya milisi Houthi tumbuh gigi membuat para analis menduga ada tangan Iran, negara Syiah tetangga Yaman, di balik milisi Houthi. “Sebelum menyerbu Sanaa, Iran sudah mengapalkan senjata dan menyetor uang kepada mereka,” kata pejabat dinas intelijen Yaman kepada Reuters beberapa waktu lalu.
Sumber intelijen lain mengatakan ratusan milisi Houthis dikirim ke Libanon untuk mengikuti latihan militer bersama Hizbullah, sekutu Iran di sana. “Latihan itu sudah berjalan bertahun-tahun,” katanya. Lewat Hizbullah pula sebagian uang dari Teheran itu mengalir ke pemimpin Houthi.


Sudah hampir TIGA tahun, warga Yaman hidup sengsara akibat perang saudara. Pasokan senjata dari negara-negara Arab, Inggris, Amerika, dan Iran bak menyiramkan bensin ke atas rumah yang terbakar. Belum ada tanda-tanda loyalis Presiden Abd-Rabbu dan pasukan gabungan negara Arab bakal bisa mengusir milisi Houthi dari Ibu Kota Sanaa. Bermodal kiriman senjata dari Iran, kekuatan milisi Houthi di Kota Sanaa, Hajja, Sadaa, Hudaydah, dan Dhamar juga masih sangat kokoh.
Pasukan gabungan negara Arab, Amerika, dan Inggris, menurut Laksamana Madya Kevin Donegan, Komandan Armada Kelima Angkatan Laut Amerika Serikat, telah lima kali mencegat kiriman senjata dari Iran ke Yaman. “Kami tahu senjata-senjata itu berasal dari Iran dan akan dikirim ke mana,” kata Laksamana Donegan kepada NBC.

Gencatan senjata sudah berulang kali disepakati lewat perantaraan PBB, tapi tak pernah berumur panjang. Senapan kembali menyalak, mesin-mesin perang dari kedua belah pihak kembali menebar maut. “Sejujurnya aku tak tahu bagaimana harus mendeskripsikan kondisi di Yaman,” kata Kristine Beckerle, peneliti di Human Rights Watch, kepada Vox.

Mirip di Suriah, tak ada yang mau mengalah dan mundur satu jengkal pun. “Tak ada yang tahu bagaimana mengatasi persoalan di Yaman dan tak ada pihak yang mau memberikan perhatian dan menyediakan sumber daya untuk negara itu,” kata Graham Griffiths, analis di Control Risks, Dubai. Yaman yang terlupakan tinggal beberapa langkah lagi menjadi “neraka” bagi penduduknya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.