SAAT PARA LASKAR ITU TERSEDU SADAR HANYA SEBAGAI PION SAJA BEIMBAL AMPLOP GOCAP DAN NASI BUNGKUS SEMATA

PARA LASKAR ITU MENYESAL DENGAN SYAHDU

Bagai bombardir mental, ketika ketua laskar mengaku aksi berjilid-jilid para laskar atas nama agama itu ternyata utk ambisi elit politik haus kuasa. Apalagi elit laskar menyatakan bahwa dibelakangnya berujung mahar ratusan miliar.

Pengakuan demi pengakuan ini menggoncang nurani para laskar. Mereka tersadar bahwa aksi berjilid-jild, mengkopar-kapirkan sesama muslim yg beda pilihan politiknya hingga menista jenazahnya, ternyata hanya memperjuangkan kepentingan elit politik berkedok agama.
Kesadaran para laskar berujung penyesalan ini dinarasikan secara imajiner dg penuh kesyahduan oleh Kang Sudi Sawna saat beberapa laskar sedang berkumpul disebuah tepi jalan tol.

Suasana begitu hening, hanya suara merdu beberapa ekor jangkrik bersahut sahutan seolah menggoda kegalauan beberapa laskar 212 itu.

"Sekarang kita bingung, dulu kenapa kita begitu mudah digerakkan berjilid jilid, ternyata semua itu palsu.." gumam seorang laskar pelan. Beberapa laskar masih juga diam dalam keheningan tepi jalan itu.

"Semua itu ternyata berujung politik, dulu kita musuhi jenazah, musuhi patung gatot kaca... (diam sambil menghela nafas panjang).. aku malu jika mengingat masa itu, bagaimana tidak malu, kita melarang teman muslim lain ke masjid hanya karena beda pilihan (sambil menundukkan kepala).. belum lagi kita dipaksa memusuhi benda benda mati, roti kita musuhi, uang rupiah kita musuhi, arit kita laknat, palu kita kafir kafirkan, belum lagi kita begitu mudahnya memusuhi tiang listrik hanya karena bentuknya menyerupai salib.. bahkan masjid raya pun kita tuduh menyerupai salib... oh Tuhan.. aku malu Tuhan...." guman seorang laskar sambil sesekali menengada ke atas.
Beberapa laskar masih saja diam, membisu dalam suasana duka yang mendalam. Terlihat beberapa mata mulai lembab, ada genangan air mulai menetes di pipi mereka.

"Oh Tuhan.. aku ingin seperti dulu sebelum pikiranku dibolak balik kaum kaum propagandis itu, aku begitu jijik ketika kami disuruh teriak takbir namun saat itu juga kami disuruh mengkafir kafirkan teman sendiri, kami begitu jijik saat ingat ketika kami disuruh berteriak takbir namun saat itu juga kami disuruh berteriak bunuh bunuh ke yang lain, oh Tuhan... (wajahnya merunduk..) kami ingin seperti dulu, beragama tanpa cacian, beragama tanpa hina menghina, beragama tanpa laknat melaknat, bersenda gurau dengan yang lain, bahkan kami rindu dengan teman teman non muslimku saat kuliah dulu, pertemukan kami dalam senda gurau yang menyejukkan, Tuhan... maafkan kami, mereka pasti sakit hati ketika kami teriak teriak kopar kafir kepada mereka, mereka pasti menangis ketika kami menghina agama mereka.. betapa sedihnya mereka melihat kelakuan kami selama ini...." sang laskar terus merintih menyesali apa yang pernah ia lakukan saat pilgub di ibukota kemarin.
Gerimis mulai turun, rintik rintik air mulai menari nari disela sela dedauan, membasahi wajah wajah yang terlihat sedih. dipinggiran tol itu ada gundahan hati yang teramat dalam, mereka tetap diam seolah membiarkan air hujan mendinginkan pikiran mereka.

Suara jangkrik nampak semakin terdengar indah, bersahutan menyanyikan lagu duka, merintihkan hati yang sedang bergejolak lara. Ada kesedihan mendalam menyeruak dalam sanubarinya.
"Kami malu Tuhan bagaimana saat kami begitu angkuhnya mengatakan "ndasmu" ke kyai sepuh, betapa angkuhnya ketika kami menuduh sesat kepada ulama ahli tafsir, betapa angkuhnya kami menuduh kyai kyai sepuh liberal hanya karena kami ingin dilabeli si pembela agama.. (semua menunduk bisu, beberapa orang mulai sesenggukan).. betapa sombongnya kami saat itu, betapa takabburnya kami saat itu hanya karena beda pilihan kami dengan mudah memasukkan mereka ke neraka... padahal neraka dan surga itu semua adalah hak Mu yaaaa Tuhan..." rinti sang laskar sambil terus merunduk malu.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.