KEINGINAN ARABISASI BUKAN HAL BARU..
KEINGINAN ARABISASI BUKAN HAL BARU.. SEJARAH MENCATAT ADA DI/TII,
Mengapa para "Muslim pribumi" ini masih beranggapan bahwa Indonesia, Tanah Air mereka, sebagai darul-harb alias medan perang? Mengapa mereka ingin menerapkan hukum Islam, menjalankan tradisi budaya serta bahasa dan gaya Arab? APAKAH KECINTAAN KEPADA ARAB LEBIH BESAR DIBANDINGKAN KECINTAAN PADA BUDAYA DAN TANAH AIR SENDIRI..?? Arabisasi Dalam kajian fenomenologi, realitas sosial keinginan menerapkan hukum Islam dan Arabisasi (menganut budaya Arab) adalah bentuk eksoterisme, yaitu perilaku simbolistik yang menerjemahkan agama dalam simbol-simbol budaya.
Menurut Andree Feillard dan Remy Madinier dalam La Fin de l'Innocence, tak sedikit kaum intelektual yang mengaitkanfenomena Arabisasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sebagai proses geopolitik, di mana fase radikalisasi keagamaan memang tengah terjadi di Indonesia. Ada dua indikasi yang menandai fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang. Pertama, penyederhanaan ideologi. Kedua, manipulasi politik yang berkembang menjadi Islam politik dengan pengaderan terorganisir-melalui pengajaran praktis doktrin negara-agama. Namun, apakah benar dengan mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, lantas bisa meningkatkan kesalehan manusia Islam Indonesia ?
Ternyata, budaya Arab berbeda dengan ajaran Islam. Arabisasi adalah praktik mempertontonkan diri demi memengaruhi masyarakat untuk menjadi bersikap dan berbudaya, seperti orang Arab. Sedang ajaran Islam memiliki sifat"shalihun likulli zaman wa makan".Artinya, Islam relevan untuk segala DINAMIKA ZAMAN DAN. Sebagai ilustrasi, kasus korupsi yang menjerat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara (Kompas, 24/12/2014), adalah contoh ketika Islam hanya menjadi topeng kesalehan. Bahkan, ditahannya Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013, adalah bukti sekaligus penegasan bahwa tak sedikit penyelenggara negara yang terjangkit Arabisasi: hanya mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, namun tak menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar. Kalau Islam tidak lagi menjadi tuntunan moral dan spiritual, apa arti agama bagi mereka ?
Ternyata, budaya Arab berbeda dengan ajaran Islam. Arabisasi adalah praktik mempertontonkan diri demi memengaruhi masyarakat untuk menjadi bersikap dan berbudaya, seperti orang Arab. Sedang ajaran Islam memiliki sifat"shalihun likulli zaman wa makan".Artinya, Islam relevan untuk segala DINAMIKA ZAMAN DAN TEMPAT. Sebagai ilustrasi, kasus korupsi yang menjerat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara (Kompas, 24/12/2014), adalah contoh ketika Islam hanya menjadi topeng kesalehan. Bahkan, ditahannya Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013, adalah bukti sekaligus penegasan bahwa tak sedikit penyelenggara negara yang terjangkit Arabisasi: hanya mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, namun tak menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar. Kalau Islam tidak lagi menjadi tuntunan moral dan spiritual, apa arti agama bagi mereka ?
Maka, penting bagi Muslim Indonesia memahami "hubbul wathan minal iman", cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman. Menjadi Muslim yang baik berarti menjadi warga negara yang loyal kepada NKRI, menjunjung tinggi nasionalisme dan Pancasila. Sesungguhnya bangsa Indonesia tak perlu mengekor budaya bangsa lain (Arabisasi). Eksistensi beberapa kelompok ekstrem Islam-berkiblat kepada budaya Arab, ingin bergabung dengan NIIS atau bahkan ingin menegakkan daulah Islamiyah, harus disikapi dengan bijak. Artinya disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kultur pun mengacu filosofi dasar bangsa Indonesia, yaitu anti kekerasan. Tidak identik Oleh sebab itu, ajaran Islam tidak serta-merta bisa di identikkan dengan budaya Arab. Namun, perlu disadari bersama bahwa di Indonesia masih banyak orang Islam yang lebih gemar mempertontonkan budaya Arab daripada menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar.
Mengapa para "Muslim pribumi" ini masih beranggapan bahwa Indonesia, Tanah Air mereka, sebagai darul-harb alias medan perang? Mengapa mereka ingin menerapkan hukum Islam, menjalankan tradisi budaya serta bahasa dan gaya Arab? APAKAH KECINTAAN KEPADA ARAB LEBIH BESAR DIBANDINGKAN KECINTAAN PADA BUDAYA DAN TANAH AIR SENDIRI..?? Arabisasi Dalam kajian fenomenologi, realitas sosial keinginan menerapkan hukum Islam dan Arabisasi (menganut budaya Arab) adalah bentuk eksoterisme, yaitu perilaku simbolistik yang menerjemahkan agama dalam simbol-simbol budaya.
Menurut Andree Feillard dan Remy Madinier dalam La Fin de l'Innocence, tak sedikit kaum intelektual yang mengaitkanfenomena Arabisasi dalam kehidupan umat Islam di Indonesia sebagai proses geopolitik, di mana fase radikalisasi keagamaan memang tengah terjadi di Indonesia. Ada dua indikasi yang menandai fenomena Islam radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang. Pertama, penyederhanaan ideologi. Kedua, manipulasi politik yang berkembang menjadi Islam politik dengan pengaderan terorganisir-melalui pengajaran praktis doktrin negara-agama. Namun, apakah benar dengan mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, lantas bisa meningkatkan kesalehan manusia Islam Indonesia ?
Ternyata, budaya Arab berbeda dengan ajaran Islam. Arabisasi adalah praktik mempertontonkan diri demi memengaruhi masyarakat untuk menjadi bersikap dan berbudaya, seperti orang Arab. Sedang ajaran Islam memiliki sifat"shalihun likulli zaman wa makan".Artinya, Islam relevan untuk segala DINAMIKA ZAMAN DAN. Sebagai ilustrasi, kasus korupsi yang menjerat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara (Kompas, 24/12/2014), adalah contoh ketika Islam hanya menjadi topeng kesalehan. Bahkan, ditahannya Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013, adalah bukti sekaligus penegasan bahwa tak sedikit penyelenggara negara yang terjangkit Arabisasi: hanya mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, namun tak menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar. Kalau Islam tidak lagi menjadi tuntunan moral dan spiritual, apa arti agama bagi mereka ?
Ternyata, budaya Arab berbeda dengan ajaran Islam. Arabisasi adalah praktik mempertontonkan diri demi memengaruhi masyarakat untuk menjadi bersikap dan berbudaya, seperti orang Arab. Sedang ajaran Islam memiliki sifat"shalihun likulli zaman wa makan".Artinya, Islam relevan untuk segala DINAMIKA ZAMAN DAN TEMPAT. Sebagai ilustrasi, kasus korupsi yang menjerat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara (Kompas, 24/12/2014), adalah contoh ketika Islam hanya menjadi topeng kesalehan. Bahkan, ditahannya Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dan jasa haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013, adalah bukti sekaligus penegasan bahwa tak sedikit penyelenggara negara yang terjangkit Arabisasi: hanya mencontoh kebiasaan atau berkiblat kepada budaya Arab, namun tak menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar. Kalau Islam tidak lagi menjadi tuntunan moral dan spiritual, apa arti agama bagi mereka ?
Maka, penting bagi Muslim Indonesia memahami "hubbul wathan minal iman", cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman. Menjadi Muslim yang baik berarti menjadi warga negara yang loyal kepada NKRI, menjunjung tinggi nasionalisme dan Pancasila. Sesungguhnya bangsa Indonesia tak perlu mengekor budaya bangsa lain (Arabisasi). Eksistensi beberapa kelompok ekstrem Islam-berkiblat kepada budaya Arab, ingin bergabung dengan NIIS atau bahkan ingin menegakkan daulah Islamiyah, harus disikapi dengan bijak. Artinya disesuaikan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Kultur pun mengacu filosofi dasar bangsa Indonesia, yaitu anti kekerasan. Tidak identik Oleh sebab itu, ajaran Islam tidak serta-merta bisa di identikkan dengan budaya Arab. Namun, perlu disadari bersama bahwa di Indonesia masih banyak orang Islam yang lebih gemar mempertontonkan budaya Arab daripada menjalankan ajaran Islam secara baik dan benar.
Post a Comment