KAJIAN SINGKAT ALFATEHAH
AYAT 1- 3
"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam" "Yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah" "Yang menjadi Raja di hari agama" "Alhamd" (Puji) baik secara aktual maupun verbal adalah bentuk dari manifestasi keparipurnaan dan suksesnya suatu tujuan, dari segala yang ada. Sebab Hamdalah itu merupakan bentuk dari pujian pembuka, sekaligus merupakan pujian indah bagi yang berhak mendapatkannya. Segala yang maujud ini secara keseluruhan merupakan keistemewaan dan kekhasan, disamping semuanya berorientasi pada tujuan dari pujian itu sendiri.
Pembagian puji dalam 4. PUJI ALLLAH PADA ALLAH..dimana hanya hak Allah lah untuk memuji diri, Allah yang berhak menyatakan..Akulah Yang Maha sabar, Akulah Yang Maaha Gagah, Akulah yang Maha Besar, Akulah Yang Maha Sombong dan ke Maha an Nya lainnya..tiada hak seorang hambapun untuk bersaing apalagi merebut hak Allah Ta'ala..ketika hamba sadar akan hakikat ini..akankah seorang hamba mau melangkah dimuka bumi dengan pongah dan tengadah beserta segala kesombongan diri yang hanya sebatas HAMBA..
PUJI HAMBA PADA ALLAH, disini kewajiban hamba berada bahwa hamba berkewajiban mensucikan, memuja dan memuji Dzat Yang Maha Memiliki segala puji,..kemudian PUJI ALLAH TA'ALA PADA HAMBA..berbalik akan ada sanjungan dari Ilahi Rabbi atas segala prestasi pengabdian sang hamba pada Dia yang Maha terpuji, lalu PUJI ANTARA HAMBA DENGAN HAMBA, tercipta hubungan harmonis ketika hamba berhabluminannas atas dasar ikhlas dalam tata krama akidah..saya main ke rumah anda anda suguhin saya makanan kecil beserta kopi, terucap dari mulut saya :..alhamdulilah..terima kasih saudaraku"..sebuah pujian sesama hamba antara saya dengan anda yang hakekat kembali pada Dia Allah Ta'ala Yang Maha Terpuji Pemilik segala puji...
Seluruh keparipumaan muncul dari potensi-potensi menjadi aktual, dan semuanya senantiasa menyucikan dan memuji-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah swt: "Tak satu pun dari segala yang ada kecuali selalu bertasbih dan memuji-Nya". Bentuk tasbihnya adalah penyuciannya dari dualitas, dari sifat-sifat yang kurang dan lemah, dengan hanya menyandarkan kepada-Nya saja, memberikan petunjuk atas Ketunggalan dan Kekuasaan-Nya. Bentuk dari pujian jagad raya ini adalah penampakan keparipurnaannya pada struktur jagad secara tertib ini, kemudian memanifestasi pada sifat-sifat Jalaliyah (Keagungan dan kebesaran) dan sifat-sifat Jamaliyah (Keindahan).
Jagad raya senantiasa memiliki kesadaran darimana awal mulanya, bagaimana penjagaan atas kelestariannya dan pengaturannya, sebagai cermin konotatif dari arti hakiki Rububiyah bagi semesta alam. Yakni bagi segala sesuatu yang terkandung dalam Ilmu Allah. Seperti sebuah tanda bagi yang ditandai, Juga mengandung makna globalitas keselamatan yang penuh karena mengandung arti Ilmu dan sekaligus mengandung makna mengalahkan. Yang terkandung itu juga berarti kebajikan-kebajikan yang umum maupun khusus. Yaitu nikmat lahiriyah maupun nikmat batiniyah. Nikmat lahiriyah seperti kesehalan dan rizki, sedangkan nikmat batiniyah seperti pengetahuan dan ma'rifat. Dari segi pengertian totalitasnya adalah makna dari sifat Diraja bagi segala sesuatu yang ada di hari akhir. Sebab tidak ada yang memberikan batasan kecuali Dzat Yang Disembah, dengan pahala nikmat abadi, jauh dari kefanaan di saat zuhudnya hamba, dan ketika Af'al Allah Tajalli saat af'al hamba sirna, penggantian sifat hamba oleh sifat Nya ketika hamba dalam kondisi keterhangusan, secara otomatis pengabadian melalui Dzat-Nya, dianugerahkan wujud hakiki ketika dalam kefanaan hamba. Maka pujian dengan segala substansinya itu mutlak hanya bagi Allah Ta'ala, secara azali maupun abadi menurut proporsi hak hamba melalui Dzat-Nya. Jika digambarkan permulaan dan akhir dari tujuan, serta unsur diantara awal dan akhir dalam ungkapan tahapan Al-Jam'u (terglobalisir), maka bisa diurai sebagai berikut: Bahwa Allah itu adalah Yang Memuji, dan Yang dipuji, baik dari segi terglobalisir maupun terinci. Abid dan Ma'bud juga demikian, awal sekaligus akhir. Ketika Allah ber-tajalli terhadap hamba-Nya dalam kalam-Nya, melalui Sifat-sifat-Nya, maka sang hamba menyaksikan-Nya dengan penuh keagungan dan kharisma-Nya, para hamba menyaksikan keparipurnaan kuasa-Nya dan kebesaranNya.
Lalu para hamba itu berbicara kepada-Nya baik melalui ucapan maupun tindakan melalui bentuk ibadah terhadap-Nya. Lalu mereka meminta pertolongan kepada-Nya, sebab tak ada yang lain untuk disembah kecuali hanya Dia. Tak ada upaya dan daya kekuatan bagi seorang pun kecuali atas izin-Nya. Maka seandainya para hamba itu mampu hadir (di hadiratnya) niscaya gerak dan diamnya pun merupakan ibadah bagi-Nya dim bersamaNya. Mereka dalam shalat-shalatnya senantiasa langgeng, mendoa dengan lisan cinta atas penyaksian mereka pada Kemahaindah-Nya, dari sisi mana saja dan dimana pun mereka berhadap.
Al-Fatihah Ayat 4-5
"Hanya kepada-Mu kami menyembah" "Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan" Ayat pertama merupakan ayat “pertemuan antara Allah dengan hamba-Nya”. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT. berbicara tentang dirinya sendiri, maka pada ayat inilah terjadi suatu sinergi ubudiyah hamba Allah kepada-Nya. Tetapi menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Jawahirul Qur'an, seluruh kandungan Al-Fatihah ini, masuk kategori ayat-ayat Jawahir. Ayat-ayat Jawahir adalah ayat-ayat Mutiara, di mana muatannya mengandung nilai-nilai Uluhiyah yang sangat tinggi. Sementara ayat-ayat Durar atau ayat-ayat permata, lebih merupakan ayat yang berkait dengan makhluk Allah SWT. "Iyyaaka Na‘budu" dalam perspektif sufistik merupakan bentuk ubudiyah hamba Allah dalam situasi "Al-Fana". Situasi di mana hamba Allah lebur dalam nuansa, seakan-akan dirinya hangus dalam Ilahi, tiada daya, tiada upaya, tiada sesuatu yang dihadapi lahir maupun batin, kecuali Allah SWT. Ayat ini memberikan gambaran akan Kemahatunggalan Allah, sehingga manusia bebas dari kemusyrikan. Dalam kitab Fathur-Rahman disebutkan, "Sesungguhnya kalian semua berada dalam kemusyrikan tersembunyi, kecuali jika dirimu keluar dari dirimu, Sehingga tiada yang berbuat, tiada yang berdaya, tiada yang berupaya, kecuali Allah SWT. Itu sendiri." Seorang sufi berkata, "Hakikatmu adalah keluarmu darimu", Wacana ini untuk menggambarkan betapa manusia hanyalah"Bayang-bayang Allah", tidak ada klaim bahwa dirinya ada dalam hakikatnya. Pandangan ini berbeda dengan aliran eksistensialisme yang menonjolkan kekuatan diri manusia bagi eksplorasi kehidupan maksimal. Semakin kuat dirinya, rasa keberadaannya, semakin kuat egonya dan pengabaiannya terhadap dzat di luar dirinya, yaitu Allah SWT. "Iyyaaka Na'budu" berarti hanya kepada-Mu kami menyembah. Menyembah kepada Allah secara total berarti makrifat kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika menafsiri ayat yang berbunyi: "Wamaa khalaqtul Jinna wal-Insa illa liya'budun", seorang penafsir sufi mengatakan, "Maksudnya illaa liya'rifuun". Sehingga penafsirannya, "Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka bermakrifat kepada-Ku". Makrifatullah itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, melalui etika ubudiyah dan keyakinannya kepada Allah melalui jalan Islam, Iman dan Ihsan. Sedangkan "wa-iyyaaka nasta'iin, "berarti sang hamba lebur dalam Musyahadah kepada Allah SWT. Di sinilah Abu Yazid Al-Busthami menyebutkannya sebagai "wahdatusy-syuhud", bukan "wahdatul wujud". Wahdatusy-syuhud, yang berarti "kesatuan dalam penyaksian". Yang bersatu adalah penyaksiannya, bukan wujudnya. Atau bisa berarti "seakan-akan bersatu". Inilah maqam Ihsan, sebagai puncak ubudiyah, yang kelak disebut 'abudah. Maqam Ihsan ini bisa disebut sebagai pangkal dari kefanaan hamba Allah, yaitu setelah melampaui fana', fanaul fana' kemudian baqa'. Dalam Hadits Shahih Rasulullah SAw. bersabda, "Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya engkau senantiasa dilihat oleh-Nya." Hamba Allah yang melihat Allah, pasti dirinya fana' dan hanya Allah saja yang baqa' (abadi). Hal yang sama hamba Allah yang senantiasa merasa dilihat Allah, dirinya tidak "berkutik". Gerak geriknya bukan lagi gerak-gerik "milik"nya, tetapi tidak lepas dari peran Allah SWT. Pada ayat di atas itulah ada relevansi dengan Hadits Qudsi yang disebutkan oleh Allah SWT., "...Apabila Aku mencintainya (hamba-Ku), maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengarkannya, dan Aku adalah penglihalannya yang dengannya hamba-Ku melihalnya, dan Aku adalah tangannya yang dengan tangan itu hambaKu memukul, serta Aku adalah kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika ia memohonAku mengabulkannya, dan jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku melindunginya"…
Al-Fatihah Ayat 6-7
Jalan Yang Lurus Itu...... "Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat" Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah). Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma'rifat dari nikmat mahabbah. Sedangkan keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau sirna. Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan "menyatu" dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran, bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan segala hal selain Allah adalah batil dan hancur. Jalan menuju kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah. Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya, yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah. Mereka yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily: "Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya, kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama ke-Bathinan-Nya." "Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai" Orang-orang yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa fisik,jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan syurgawi belaka,janji-janji tentang bidadari dan istana, sehingga mereka mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh. "Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat" Orang-orang yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. Mereka tertutupi oleh penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan. Sedangkan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’ an: "Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga." Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin. Karena itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi horisontal dan sekaligus vertikal. Kita senantiasa berdoa agar diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi antara syari'at dengan hakikat melalui tarekat sufi. Syari'at adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita menyaksikan Allah. Amien.
"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam" "Yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah" "Yang menjadi Raja di hari agama" "Alhamd" (Puji) baik secara aktual maupun verbal adalah bentuk dari manifestasi keparipurnaan dan suksesnya suatu tujuan, dari segala yang ada. Sebab Hamdalah itu merupakan bentuk dari pujian pembuka, sekaligus merupakan pujian indah bagi yang berhak mendapatkannya. Segala yang maujud ini secara keseluruhan merupakan keistemewaan dan kekhasan, disamping semuanya berorientasi pada tujuan dari pujian itu sendiri.
Pembagian puji dalam 4. PUJI ALLLAH PADA ALLAH..dimana hanya hak Allah lah untuk memuji diri, Allah yang berhak menyatakan..Akulah Yang Maha sabar, Akulah Yang Maaha Gagah, Akulah yang Maha Besar, Akulah Yang Maha Sombong dan ke Maha an Nya lainnya..tiada hak seorang hambapun untuk bersaing apalagi merebut hak Allah Ta'ala..ketika hamba sadar akan hakikat ini..akankah seorang hamba mau melangkah dimuka bumi dengan pongah dan tengadah beserta segala kesombongan diri yang hanya sebatas HAMBA..
PUJI HAMBA PADA ALLAH, disini kewajiban hamba berada bahwa hamba berkewajiban mensucikan, memuja dan memuji Dzat Yang Maha Memiliki segala puji,..kemudian PUJI ALLAH TA'ALA PADA HAMBA..berbalik akan ada sanjungan dari Ilahi Rabbi atas segala prestasi pengabdian sang hamba pada Dia yang Maha terpuji, lalu PUJI ANTARA HAMBA DENGAN HAMBA, tercipta hubungan harmonis ketika hamba berhabluminannas atas dasar ikhlas dalam tata krama akidah..saya main ke rumah anda anda suguhin saya makanan kecil beserta kopi, terucap dari mulut saya :..alhamdulilah..terima kasih saudaraku"..sebuah pujian sesama hamba antara saya dengan anda yang hakekat kembali pada Dia Allah Ta'ala Yang Maha Terpuji Pemilik segala puji...
Seluruh keparipumaan muncul dari potensi-potensi menjadi aktual, dan semuanya senantiasa menyucikan dan memuji-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah swt: "Tak satu pun dari segala yang ada kecuali selalu bertasbih dan memuji-Nya". Bentuk tasbihnya adalah penyuciannya dari dualitas, dari sifat-sifat yang kurang dan lemah, dengan hanya menyandarkan kepada-Nya saja, memberikan petunjuk atas Ketunggalan dan Kekuasaan-Nya. Bentuk dari pujian jagad raya ini adalah penampakan keparipurnaannya pada struktur jagad secara tertib ini, kemudian memanifestasi pada sifat-sifat Jalaliyah (Keagungan dan kebesaran) dan sifat-sifat Jamaliyah (Keindahan).
Jagad raya senantiasa memiliki kesadaran darimana awal mulanya, bagaimana penjagaan atas kelestariannya dan pengaturannya, sebagai cermin konotatif dari arti hakiki Rububiyah bagi semesta alam. Yakni bagi segala sesuatu yang terkandung dalam Ilmu Allah. Seperti sebuah tanda bagi yang ditandai, Juga mengandung makna globalitas keselamatan yang penuh karena mengandung arti Ilmu dan sekaligus mengandung makna mengalahkan. Yang terkandung itu juga berarti kebajikan-kebajikan yang umum maupun khusus. Yaitu nikmat lahiriyah maupun nikmat batiniyah. Nikmat lahiriyah seperti kesehalan dan rizki, sedangkan nikmat batiniyah seperti pengetahuan dan ma'rifat. Dari segi pengertian totalitasnya adalah makna dari sifat Diraja bagi segala sesuatu yang ada di hari akhir. Sebab tidak ada yang memberikan batasan kecuali Dzat Yang Disembah, dengan pahala nikmat abadi, jauh dari kefanaan di saat zuhudnya hamba, dan ketika Af'al Allah Tajalli saat af'al hamba sirna, penggantian sifat hamba oleh sifat Nya ketika hamba dalam kondisi keterhangusan, secara otomatis pengabadian melalui Dzat-Nya, dianugerahkan wujud hakiki ketika dalam kefanaan hamba. Maka pujian dengan segala substansinya itu mutlak hanya bagi Allah Ta'ala, secara azali maupun abadi menurut proporsi hak hamba melalui Dzat-Nya. Jika digambarkan permulaan dan akhir dari tujuan, serta unsur diantara awal dan akhir dalam ungkapan tahapan Al-Jam'u (terglobalisir), maka bisa diurai sebagai berikut: Bahwa Allah itu adalah Yang Memuji, dan Yang dipuji, baik dari segi terglobalisir maupun terinci. Abid dan Ma'bud juga demikian, awal sekaligus akhir. Ketika Allah ber-tajalli terhadap hamba-Nya dalam kalam-Nya, melalui Sifat-sifat-Nya, maka sang hamba menyaksikan-Nya dengan penuh keagungan dan kharisma-Nya, para hamba menyaksikan keparipurnaan kuasa-Nya dan kebesaranNya.
Lalu para hamba itu berbicara kepada-Nya baik melalui ucapan maupun tindakan melalui bentuk ibadah terhadap-Nya. Lalu mereka meminta pertolongan kepada-Nya, sebab tak ada yang lain untuk disembah kecuali hanya Dia. Tak ada upaya dan daya kekuatan bagi seorang pun kecuali atas izin-Nya. Maka seandainya para hamba itu mampu hadir (di hadiratnya) niscaya gerak dan diamnya pun merupakan ibadah bagi-Nya dim bersamaNya. Mereka dalam shalat-shalatnya senantiasa langgeng, mendoa dengan lisan cinta atas penyaksian mereka pada Kemahaindah-Nya, dari sisi mana saja dan dimana pun mereka berhadap.
Al-Fatihah Ayat 4-5
"Hanya kepada-Mu kami menyembah" "Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan" Ayat pertama merupakan ayat “pertemuan antara Allah dengan hamba-Nya”. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT. berbicara tentang dirinya sendiri, maka pada ayat inilah terjadi suatu sinergi ubudiyah hamba Allah kepada-Nya. Tetapi menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Jawahirul Qur'an, seluruh kandungan Al-Fatihah ini, masuk kategori ayat-ayat Jawahir. Ayat-ayat Jawahir adalah ayat-ayat Mutiara, di mana muatannya mengandung nilai-nilai Uluhiyah yang sangat tinggi. Sementara ayat-ayat Durar atau ayat-ayat permata, lebih merupakan ayat yang berkait dengan makhluk Allah SWT. "Iyyaaka Na‘budu" dalam perspektif sufistik merupakan bentuk ubudiyah hamba Allah dalam situasi "Al-Fana". Situasi di mana hamba Allah lebur dalam nuansa, seakan-akan dirinya hangus dalam Ilahi, tiada daya, tiada upaya, tiada sesuatu yang dihadapi lahir maupun batin, kecuali Allah SWT. Ayat ini memberikan gambaran akan Kemahatunggalan Allah, sehingga manusia bebas dari kemusyrikan. Dalam kitab Fathur-Rahman disebutkan, "Sesungguhnya kalian semua berada dalam kemusyrikan tersembunyi, kecuali jika dirimu keluar dari dirimu, Sehingga tiada yang berbuat, tiada yang berdaya, tiada yang berupaya, kecuali Allah SWT. Itu sendiri." Seorang sufi berkata, "Hakikatmu adalah keluarmu darimu", Wacana ini untuk menggambarkan betapa manusia hanyalah"Bayang-bayang Allah", tidak ada klaim bahwa dirinya ada dalam hakikatnya. Pandangan ini berbeda dengan aliran eksistensialisme yang menonjolkan kekuatan diri manusia bagi eksplorasi kehidupan maksimal. Semakin kuat dirinya, rasa keberadaannya, semakin kuat egonya dan pengabaiannya terhadap dzat di luar dirinya, yaitu Allah SWT. "Iyyaaka Na'budu" berarti hanya kepada-Mu kami menyembah. Menyembah kepada Allah secara total berarti makrifat kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika menafsiri ayat yang berbunyi: "Wamaa khalaqtul Jinna wal-Insa illa liya'budun", seorang penafsir sufi mengatakan, "Maksudnya illaa liya'rifuun". Sehingga penafsirannya, "Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka bermakrifat kepada-Ku". Makrifatullah itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, melalui etika ubudiyah dan keyakinannya kepada Allah melalui jalan Islam, Iman dan Ihsan. Sedangkan "wa-iyyaaka nasta'iin, "berarti sang hamba lebur dalam Musyahadah kepada Allah SWT. Di sinilah Abu Yazid Al-Busthami menyebutkannya sebagai "wahdatusy-syuhud", bukan "wahdatul wujud". Wahdatusy-syuhud, yang berarti "kesatuan dalam penyaksian". Yang bersatu adalah penyaksiannya, bukan wujudnya. Atau bisa berarti "seakan-akan bersatu". Inilah maqam Ihsan, sebagai puncak ubudiyah, yang kelak disebut 'abudah. Maqam Ihsan ini bisa disebut sebagai pangkal dari kefanaan hamba Allah, yaitu setelah melampaui fana', fanaul fana' kemudian baqa'. Dalam Hadits Shahih Rasulullah SAw. bersabda, "Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika tidak melihat-Nya engkau senantiasa dilihat oleh-Nya." Hamba Allah yang melihat Allah, pasti dirinya fana' dan hanya Allah saja yang baqa' (abadi). Hal yang sama hamba Allah yang senantiasa merasa dilihat Allah, dirinya tidak "berkutik". Gerak geriknya bukan lagi gerak-gerik "milik"nya, tetapi tidak lepas dari peran Allah SWT. Pada ayat di atas itulah ada relevansi dengan Hadits Qudsi yang disebutkan oleh Allah SWT., "...Apabila Aku mencintainya (hamba-Ku), maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengarkannya, dan Aku adalah penglihalannya yang dengannya hamba-Ku melihalnya, dan Aku adalah tangannya yang dengan tangan itu hambaKu memukul, serta Aku adalah kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika ia memohonAku mengabulkannya, dan jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku melindunginya"…
Al-Fatihah Ayat 6-7
Jalan Yang Lurus Itu...... "Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat" Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah). Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma'rifat dari nikmat mahabbah. Sedangkan keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau sirna. Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan "menyatu" dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran, bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan segala hal selain Allah adalah batil dan hancur. Jalan menuju kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah. Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya, yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah. Mereka yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily: "Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya, kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama ke-Bathinan-Nya." "Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai" Orang-orang yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa fisik,jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan syurgawi belaka,janji-janji tentang bidadari dan istana, sehingga mereka mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh. "Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat" Orang-orang yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. Mereka tertutupi oleh penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan. Sedangkan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’ an: "Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga." Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin. Karena itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi horisontal dan sekaligus vertikal. Kita senantiasa berdoa agar diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi antara syari'at dengan hakikat melalui tarekat sufi. Syari'at adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita menyaksikan Allah. Amien.
Post a Comment